senandika (bagian 10)

Malam gelap tak berbintang ketika kami akan berangkat dari pelabuhan Gunungsitoli. Ah, akhirnya harus pulang juga ke Jogja. Rasanya masih suka berpanas-panas di pulau Nias ini. Tapi aku senang karena akan berangkat beramai-ramai. Aku, Leo, Rudolf, Felix, Sintanola, Ama Osa, Mario, Regal, dan Dena. Bersembilan. Mestinya tambah satu anggota lagi biar sekalian bersepuluh. Sesuai rencana, kami tidak naik pesawat langsung ke Medan lalu Jogja, tapi menjalani trip darat dulu ke danau Toba kemudian Bukittinggi, lalu akan terbang ke Jogja lewat bandara internasional Minangkabau di Padang.

Bau khas pelabuhan terbawa kencangnya angin laut ke wajahku. Berat juga nih ransel besar yang kudukung di punggungku. Di antara padatnya orang-orang yang semuanya mau duluan naik ke kapal feri karena di atas bakal rebutan tempat, aku melihat seseorang yang mirip Raemundo. Ya ampun, apa aku mulai terobsesi padanya, bisa-bisanya aku lihat orang yang kumirip-miripkan di benakku dengan dia. Orang yang mirip Raemundo itu mendatangi kami. “Surprise!” tiba-tiba Sintanola berteriak di telingaku. Karena angin kencang dan pelabuhan sangat ramai, teriakan Sintanola di telingaku pun terdengar samar saja. “Raemundo ikut lo! Sengaja aku tidak kasih tahu sama kamu!” teriaknya lagi. Ha? Jadi orang itu benar-benar Raemundo?

Tidak masuk di akalku. Kalau aku jadi Raemundo, jangankan naik kapal feri lagi, datang ke pelabuhan atau melihat lautan lepas pun mungkin aku masih trauma. Tapi tampaknya dia tenang-tenang saja. Aku jadi agak kagum padanya. Istri anaknya meninggal, beberapa bulan kemudian dia pergi jalan-jalan untuk menyembuhkan sedihnya. Naik kapal yang kemudian mengalami kecelakaan sampai banyak penumpangnya meninggal, sebulan kemudian dia tenang-tenang saja mau naik kapal lagi. Ah, aneh. Jangan-jangan dia bukan manusia, tapi alien yang menyamar jadi manusia. Apakah dia tidak punya perasaan? Oh, dengan tatapan mata sedalam dan selembut itu, tampaknya tak mungkin dia tak berperasaan. Sebaliknya, malah.

Aku diam saja. Bukan karena apa, tapi di tengah riuhnya suara angin, kapal, orang-orang dan segala macam warna suasana pelabuhan ini saat ini, sekencang apa pun aku teriak, suaraku tak bakal kedengaran oleh siapa pun. Belum lagi saat-saat menjelang naik kapal feri yang selalu kelebihan penumpang ini, biasanya memang menegangkan bagiku. Sudah tiga kali aku menyeberang ke Sibolga dari sini, ini yang keempat. Semoga tak kan pernah kualami kecelakaan kapal feri seperti Raemundo.

 

 

Senandika (9)

Aku sendiri belum tertarik pada Raemundo. Dia memang cukup ganteng sebenarnya, ditambah dengan sinar matanya yang memukauku sejak pertama kulihat. Namun aku tak bisa tertarik dengan orang yang baru kulihat, belum ‘kukupas kulitnya’. Belum kuintip sedikit ke dalam hatinya. Bagiku, naksir orang yang belum cukup kenal hampir sama dengan ‘makan pisang tanpa dikupas kulitnya.’ Mungkin kalau suatu saat aku bisa lebih dekat dengan Raemundo, aku bisa agak berminat padanya.

“Ya’ahowu*…,” suara melengking yang agak sumbang mengagetkanku yang sedang termenung sambil menunggui perpustakaan. Rupanya Ama Osa** yang datang, dia akan menemaniku menjaga perpustakaan yang ramai dihilirmudiki anak-anak dan remaja siang itu. Beberapa hari lagi aku, Leo, Rudolf dan Felix akan pulang ke Yogyakarta, dan Sintanola, Ama Osa serta tiga orang lagi anggota KRPF*** akan ikut. Selain Sintanola dan Ama Osa yang sudah dewasa, tiga orang lainnya masih remaja. Jadwal keberangkatan pun telah disesuaikan dengan hari libur panjang sekolah mereka. Ama Osa yang berwiraswasta jualan ikan laut di Pasar Gunungsitoli, bisa punya waktu yang cukup longgar karena istrinya lah yang lebih bertanggungjawab mengelola kios mereka. Sementara itu Sintanola akan meliburkan dulu usaha warung sea food miliknya selama sekitar dua minggu.

“Kamu dapat salam dari Raemundo,” tiba-tiba celetuk Ama Osa. Sialan. Dasar kota kecil, hampir tiap orang saling tahu. Aku malah jadi penasaran. Kebetulan Ama Osa ternyata kenal sama Raemundo, jadi sekalian kutanya-tanyakan padanya tentang Raemundo, si pria misterius yang diselamatkan lumba-lumba di tengah laut. Ternyata Raemundo masih ada hubungan saudara dengan istri Ama Osa. Benar kan, di kota kecil begini, hampir tiap orang bisa dicari-cari kaitannya. Anehnya walau mengaku baru saja kemarin bertemu dan mengobrol banyak dengan Raemundo, rupanya Ama Osa tidak tahu tentang kisah Raemundo diselamatkan lumba-lumba. Jadi Raemundo ternyata tidak mengumbar kisah ini ke mana-mana, hanya kepada orang yang dipercayanya, termasuk Sintanola dan aku. Hmm, boleh jadi memang Raemundo tidak mengarang-ngarang cerita ini. Lagipula setelah kecelakaan kapal bulan lalu, cukup lama dia terbaring di rumah sakit untuk pemulihan. Mana sempat dia ke perpustakaan kami ini dan membaca dongeng karanganku di majalah dinding di sini. Setahuku dia memang belum pernah kemari.

( bersambung )

keterangan :

* “Ya’ahowu” adalah sapaan khas Nias, mungkin mirip dengan “horas” di Batak yang sudah terkenal senusantara.

** Ama Osa dalam bahasa Nias berarti ‘bapaknya Osa’. Ama berarti bapak. Orang Nias yang sudah punya anak biasanya dipanggil dengan nama anak pertamanya. Ina berarti ibu, jadi, Ina Osa berarti ‘ibunya Osa’, ini panggilan untuk istrinya Ama Osa.

*** KRPF adalah singkatan dari Klub Remaja Perpustakaan Fodo.

Senandika (bagian 8)

“Kamu lihat nggak, koleksi bukunya?” itu pertanyaan pertama yang muncul dari Sintanola setelah kami meninggalkan rumah Raemundo.

“Iya, sebuah kebetulan yang aneh lagi kan, bukunya banyak yang sama dengan koleksiku. Ada Dunia Sophie, Awareness, Celestine Prophecy, kumpulan puisinya Chairil, buku-bukunya Deepak Chopra dan Michael Crichton juga aku lihat ada, kayaknya banyak deh yang mirip kesukaanku,” jawabku, yang masih heran dengan semua kesamaan ini.

Sintanola jadi begitu bersemangat, macam-macam polahnya. Pertama dia sibuk menjodoh-jodohkan aku dengan Raemundo, hal yang menurutku berlebihan karena menurutku Raemundo justru tertarik pada Sintanola, bukan aku. Kedua, diceritakannya dengan heboh pertemuan kami dengan Raemundo kepada Rudolf, Leo, dan Felix, yang juga langsung bereaksi dengan berlebihan. Mereka semua pada taruhan, kapan aku bakal jadian dengan sang pria misterius yang kebetulan banyak kesamaannya denganku, Raemundo.

senandika (7)

Pada perjalanannya yang termutakhir sebulan sebelumnya, gelombang badai besar menenggelamkan kapal feri yang ditumpanginya menyeberang dari Gunungsitoli ke Sibolga. Ratusan penumpang pada kapal feri yang kelebihan muatan itu jadi korban, tenggelam, meninggal, hilang. Raemundo salah satu dari yang selamat. Sintanola bertemu dengannya lewat program pendampingan trauma di rumah sakit tempat Raemundo dirawat setelah kecelakaan kapal feri tersebut.

 

Ada kisah aneh yang diceritakan Raemundo ke Sintanola. Raemundo mengatakan bahwa sewaktu dia terapung-apung di laut dan merasa sudah hampir tenggelam dan akan segera meninggalkan dunia ini, para malaikat berkulit sangat licin mengilat telah menolongnya. Malaikat-malaikat itu membawanya sambil berenang ke dekat kapal nelayan yang kemudian mengangkut Raemundo ke darat. Tapi dalam perjalanan ke kapal nelayan, Raemundo perlahan menyadari bahwa komplotan yang bergotong royong berenang sambil membawanya itu bukanlah malaikat, melainkan sekelompok lumba-lumba hitam legam mengilat. Yang paling aneh, salah satu dari lumba-lumba itu, yang tampaknya berukuran sedikit lebih kecil, mungkin masih anak atau remaja, di moncongnya tersangkut kulit durian yang tidak bisa lepas. Lumba-lumba lain silih berganti berusaha mendorong kulit durian itu dengan moncong mereka, tapi tetap tidak bisa lepas, malah lumba-lumba lain jadi ikutan luka dan berdarah moncongnya. Suatu saat lumba-lumba yang ada kulit durian di moncongnya itu berada sangat rapat di dekat Raemundo, dan dengan tangannya yang lemas Raemundo berusaha melepaskan kulit durian dari moncong si lumba-lumba malang. Puji Tuhan, akhirnya berhasil juga. Para lumba-lumba begitu senang dan berterimakasih, mereka bergantian menciumi pipi Raemundo. Kata Raemundo, diciumi serombongan lumba-lumba liar di laut lepas rasanya benar-benar seperti surga yang sangat membahagiakan, sehingga energi tubuhnya bangkit kembali, dia jadi tidak selemas sebelumnya dan makin mampu bertahan hidup.

 

Ketika mendengar kisah ini, aku juga jadi sangat takjub dan heran hampir tak percaya. Takjub karena cerita ini memang menakjubkan. Heran dan hampir tak mau percaya karena, kisah lumba-lumba yang moncongnya tertusuk kulit durian dan tak bisa lepas hingga berdarah-darah, persis seperti kisah khayalan yang kutulis untuk tugas menulis dalam pelatihan menulis yang difasilitasi Rudolf di klub perpustakaan kami. Sintanola juga segera teringat pada tulisanku itu ketika pertama kali Raemundo menceritakan pengalamannya padanya. Oleh karena itulah Sintanola sangat ingin aku dan Raemundo bertemu langsung. Tapi aku masih curiga, tak mau percaya begitu saja. Jangan-jangan Raemundo entah bagaimana pernah membaca kisah khayalan yang aku tulis (tulisan itu kan ditempel di majalah dinding perpustakaan kami), dan mengarang cerita yang sama demi menarik perhatian relawan trauma healing nan cantik, Sintanola. Namun Sintanola sendiri benar-benar yakin bahwa itu pengalaman nyata Raemundo, bukan karangan, dan sebuah kebetulan yang aneh bahwa Raemundo mengalami pengalaman yang sama dengan isi khayalanku yang kutuangkan dalam tulisanku.

 

(bersambung lagi)

senandika (6)

Kami pun tiba dan memarkir sepeda-sepeda kami di halaman sebuah rumah kecil berdinding kayu. Sang penghuni rumah, lelaki yang menurut paksaan Sintanola harus aku temui karena sebuah kesamaan konsep antara kisah karanganku dengan kisah hidup lelaki ini, menyambut kami dengan sinar mata yang paling menggugah perhatian yang pernah kulihat. Mata itu memancarkan kesedihan yang sangat dalam, sekaligus keceriaan yang paling riang ringan gembira. Dibingkai wajahnya yang keindia-indiaan dengan anak-anak jenggot tajam yang malas dicukur, mata itu menceritakan padaku betapa manusia bisa sedih sekaligus gembira bersamaan, sengsara sekalian bahagia sekaligus. Kulitnya coklat susu kemerahan terbakar matahari, suaranya dalam dan malas keluar dari kerongkongannya, dan uap badannya yang beraroma minyak goreng mengindikasikan kemungkinan dia baru saja sibuk memasak sesuatu di dapurnya yang beraroma bawang.

Sebelum ke sini, Sintanola sudah cerita tentang Raemundo, itu nama lelaki ini (nama apa pula itu), dalam rangka membujukku agar mau ikut dengannya menemui Raemundo. Anaknya yang baru berusia 11 bulan dan istrinya telah meninggal sebagai korban gempa bumi tahun 2005 di Nias. Untuk menghibur hatinya yang tak kunjung pulih dari kepedihan ini, sejak tahun 2006 dia melakukan travelling tiada henti ke mana saja hatinya membawanya.

(bersambung dulu, diganggu sang pangeran)

senandika (5)

Setelah hilang dan ditemukannya kembali Heaven, anjing kesayangan Rudolf si perut gendut (yang perutnya gendut si Rudolf, bukan anjingnya), dunia klub perpustakaan kami di Gunungsitoli jadi berbeda. Ini disebabkan karena Rudolf menjadi terobsesi dengan kemungkinan anjingnya menjadi terapis bagi ibu tua yang pikun itu. Setiap hari Rudolf rajin mempelajari pikun, dementia dan anjing-anjing penolong terapi lewat internet. Obsesinya ini juga menyebabkan Rudolf ingin kami segera pulang ke Jogja agar ia bisa mengajak anjingnya mengunjungi ibu tua tersebut.

 

Rencana perjalanan ke Jogja pun mulai dirembukkan bersama. Beberapa anggota Klub Remaja Perpustakaan, termasuk yang usianya sudah jauh melewati batasan remaja, akan ikut ke Jogja. Setelah kami main-main selama sebulan lebih di pulau Nias, giliran mereka yang ingin menyambangi pelosok pulau Jawa nan padat penduduk.

 

Di sela saat-saat menikmati hari-hari terakhir di pulau Nias nan panas ini, Sintanola tiba-tiba mengajukan sebuah ajakan yang sangat memaksa padaku. Berkali-kali kutolak tapi akhirnya aku luluh juga, jadi di suatu siang yang benderang kami pun bersepeda beriringan ke sebuah rumah di Gunungsitoli. Kami akan menemui seseorang yang menurut Sintanola harus aku jumpai, karena sebuah kesamaan konsep yang aneh.

 

(bersambung dulu, mataku capek lihat layar)

senandika (bagian 4)

Kita semua yang  suka makan babi sebenarnya terlibat dalam sebuah kejahatan bersama: pembodohan babi. Tapi apa mau dikata, dagingnya memang sangat enak. Babi sebenarnya adalah hewan yang berkecerdasan tinggi, bahkan ada penelitian yang memperlihatkan bahwa bila dijadikan hewan peliharaan di rumah, babi adalah yang tercerdas, lebih cerdas daripada anjing. Bintang film favoritku sepanjang masa, George Clooney, punya hewan kesayangan selama dua puluhan tahun, seekor babi bernama Max, yang sewaktu meninggal membuat Clooney sangat berduka, dan semasa hidupnya ikut tenar seiring ketenaran tuannya yang saking cintanya pada babinya sehingga sering bercerita pada wartawan tentang babi kesayangannya itu. Aku teringat ini sambil berjalan di belakang seekor anak babi jantan, yang di Nias disebut ‘ono sigelo’ yang berlari-lari lucu di pinggir jalan. Pemandangan khas Nias ini sangat mirip dengan di kampungku Toraja: babi-babi kecil berjalan dan berlari di pinggir jalan. Babi besar, sudah tak kelihatan berkeliaran karena memenuhi takdirnya: dikurung di kandang sempit sehingga ia kurang gerak, diberi makan sebanyak-banyaknya sehingga ia obesitas, dan pada waktunya, akan menjadi sate babi atau penganan lainnya. Max, babi kesayangan Clooney, berlari-lari bebas sepanjang hidupnya dengan sang bintang film, sehingga senantiasa langsing, tak pernah menjadi obesitas seperti babi-babi potong. Jadi, teman-teman, babi itu aslinya tidak segendut di peternakan babi. Babi yang kita makan adalah babi-babi obesitas, sama seperti ayam-ayam yang kita makan di kedai fast food ala amerika, adalah ayam-ayam remaja obesitas yang disembelih sebelum waktunya. Ayam-ayam itu sebenarnya bahkan belum jadi ayam dewasa ketika disembelih.

 

Aku berjalan-jalan sore sendirian sambil memperhatikan rumah-rumah di tepi jalan. Halaman-halaman yang kurang terurus sebagian ditanami ubi jalar tak berumbi, yang di Toraja disebut ‘sayur babi’. Sama seperti di Toraja, di sini orang juga memberi makan babinya dengan daun tanaman ini, yang dicampur dengan berbagai sisa nasi dan makanan manusia lainnya. Aku sering memperhatikan babi gemuk yang sedang makan sewaktu aku masih kecil di Toraja. Mereka makan seember besar makanan dengan sangat lahap dan cepat. Apabila dalam campuran makanan tak sengaja telah terdapat potongan plastik, kertas dan sebagainya, semua sampah itu akan ikut termakan tanpa sang babi menyadarinya. Aku yakin George Clooney tidak memberi makan babinya dengan cara seperti ini.

 

Teman, aku minta maaf padamu, aku terlalu melantur menceritakan tentang babi dan George Clooney, padahal seharusnya sudah sedari tadi kuberitahukan padamu hal penting ini: Heaven telah ditemukan, dan Rudolf ternyata tidak jadi terbang pulang kandang ke Jogja. Beginilah yang diceritakan bu Rajagukguk, ibunya Rudolf, lewat telepon panjang memberitakan kelegaan ini kepada Rudolf. Heaven telah ditemukan, cukup jauh dari rumah Rudolf, di rumah seorang ibu yang sudah tua, pikun – mungkin menderita dementia – dan jarang keluar rumah. Seorang wanita berusia limapuluhan, anak dari ibu tersebut, menelepon dan datang pagi-pagi memberitahu tentang keberadaan Heaven di rumah ibunya. Tetapi ia datang sambil memohon maaf, karena belum berhasil membawa anjing itu keluar dari rumahnya dan mengembalikannya ke pemiliknya. Wanita tadi mengajak bu Rajagukguk ke rumah ibunya untuk melihat keadaan Heaven agar bisa mengerti apa yang terjadi.

 

Setelah melihat sendiri, tanpa perlu dijelaskan, mengertilah bu Rajagukguk akan keadaan yang merepotkan itu. Ibu dari wanita tadi, berusia tujuh puluhan. Sebenarnya sebaya dengan dirinya. Tapi secara mental sudah menurun jauh: ibu itu mungkin terkena dementia alias pikun parah. Ibu yang sudah pikun itu tinggal di rumahnya ditemani seorang perawat pribadi dan seorang pembantu rumah tangga. Wanita tadi, anak dari ibu yang sudah pikun tersebut, setiap sore sepulang kerja mampir sebentar untuk melihat keadaan ibunya.

 

Sesampainya di dalam rumah ibu pikun tadi, tampaklah di mata bu Rajagukguk: Heaven sedang disuapi ayam goreng sambil ditepuk-tepuk mesra kepalanya oleh ibu pikun tersebut. Dari mulut ibu itu keluar panggilan sayangnya kepada Heaven,

 

“Goldie sayangku, makan dulu ya, anjing manisku.”

 

Heaven bak anjing pemain film hollywood, tampak sangat familiar dengan nama barunya: Goldie. Tak lama kemudian, Heaven menyadari kehadiran tuannya yang asli, lalu segera mendapati ibu Rajagukguk, ibunya Rudolf, dan menghujaninya dengan ciuman dan jilatan kangen.

 

Ibu pikun tadi pun dengan ramahnya menyambut ibu Rajagukguk,

 

“Eh, ada tamu,” katanya.

 

“Maaf, anjing saya, Goldie, memang terlalu ramah. Mari-mari silakan duduk. Goldie, sini!” Goldie alias Heaven pun mendatanginya dengan patuh. Dia kembali bercengkerama dengan ibu pikun.

 

Bu Rajagukguk pun dengan pasrah duduk dan mendengarkan penjelasan anak ibu pikun tadi, dengan sabar. Sudah sekitar dua minggu terakhir ini, katanya, sebenarnya Heaven sering ke sini sore-sore. Seringkali jika ia mampir sepulang kerja, anjing gemuk itu sedang diberi penganan oleh ibunya yang pikun, yang mengira Heaven adalah Goldie, anjing golden retriever kesayangan ibunya yang telah meninggal dua puluh tahun yang lalu. Memori ibunya sudah makin kacau. Kata pembantu dan perawat, anjing itu hanya mampir sebentar tiap sore, jadi dia tidak heran tiap kali melihat anjing itu di rumah ibunya. Kedua pegawai rumah tangga tersebut memang juga tidak terlalu peduli dengan anjing. Ketika melihat Heaven di sini dua hari berturut-turut sepulang kerja, dia mengira anjing itu hanya datang sebentar seperti biasa. Biasanya dia mampir ke rumah ibunya sepulang kerja, tapi tadi pagi, karena salah satu ponselnya ternyata ketinggalan di rumah ibunya, dia pun mampir ke sana sebelum berangkat kerja. Dalam mobil, sewaktu melewati sebuah perumahan sekitar dua kilometer sebelum rumah ibunya, sepintas dilihatnya poster anjing hilang, dengan foto yang rasanya mirip dengan anjing yang sering dilihatnya di rumah ibunya. Ketika dilihatnya anjing tersebut ada di rumah ibunya pagi-pagi, dia pun menanyakan pada kedua pegawai rumah tangga ibunya, yang memberitahunya bahwa anjing tersebut sudah dua hari menginap di situ. Namun kedua pegawai rumah tangga membiarkan saja hal tersebut, karena mereka melihat ibu majikan mereka sangat senang merawat anjing pendatang itu. Sama sekali tak terpikirkan oleh mereka bahwa di suatu tempat di luar sana mungkin ada seseorang yang sedang panik, sedih dan bingung kehilangan anjing kesayangannya. Wanita tadi, yang juga seorang penyayang anjing, segera menelepon ke kantornya bahwa ia akan terlambat. Ia pun segera naik mobil lagi, mengecek salah satu poster tadi dan mencatat nama, alamat serta nomor telepon yang tertera. Kemudian dia kembali ke rumah ibunya, bermaksud cepat-cepat membawa anjing tadi kembali ke alamat rumah yang tertera di poster. Namun, ternyata hal itu tidak mudah. Ibunya marah dan menangis ketika ia mau membawa anjing tersebut.

 

Maka diputuskanlah untuk segera menelepon pemilik anjing dan menjemputnya agar bisa lega karena melihat sendiri keadaan anjingnya yang baik-baik saja. Dia pun menawarkan kepada ibu Rajagukguk, bagaimana kalau menunggu sampai siang, saat ibunya tidur siang, dia akan datang dari kantor dan membawa Heaven kembali ke bu Rajagukguk. Semoga setelah bangun tidur di sore hari, ibunya yang pikun sudah lupa lagi, dan tidak mencari Heaven yang dikiranya Goldie, anjing goldennya yang sudah lama meninggal.

 

Ibu Rajagukguk, yang sabar dan penuh perhatian, mau mengerti dan setuju dengan usul tersebut. Siang tadi, saat istirahat makan siang di kantornya, wanita tadi memenuhi janjinya dengan baik. Ia membawa Heaven yang segar, ceria dan tampak makin gemuk pulang ke rumah ibu Rajagukguk. Heaven, anjing golden retriever yang secara genetik memang sangat ramah pada semua orang, sangat gembira pulang kembali ke rumah keluarganya. Tampaknya ia mengerti bahwa kunjungannya ke rumah ibu pikun telah membawa banyak sekali tambahan keceriaan di hati ibu tersebut. Setiap hari, jika Rudolf sedang di Yogyakarta, mereka berdua memang selalu berjalan-jalan pagi dan sore. Jika Rudolf keluar kota, ibunya memang memberi kesempatan Heaven jalan-jalan sendiri pagi dan sore. Heaven adalah anjing terlatih yang sangat cerdas, sehingga ibunya tak kuatir karena ia sudah sering jalan-jalan di sekitar rumahnya, selalu pulang pada waktunya. Tetangga-tetangga sekitar rumah Heaven pun menyukai Heaven, sehingga dia cukup aman berjalan-jalan di lingkungannya. Ibu Rajagukguk dan Rudolf tak pernah menyangka bahwa ternyata Heaven terbiasa jalan-jalan sendirian sampai cukup jauh, bahkan menjalin persahabatan dengan seorang wanita tua yang sudah pikun.

 

( B E R S A M B U N G )

 

senandika (bagian 3)

Lebih baik sendiri daripada ditemani seseorang yang justru membuat kita merasa semakin out sider dalam sebuah komunitas. Orang yang datang ke sampingmu dan menyerangmu dengan tuntutan: kenapa mojok sendiri di sini? Kenapa diam saja? Kenapa tidak ikut berjoget? Aku kenyang dengan trauma seperti ini sejak kecil. Oleh karena itu aku sangat mencintai perpustakaan. Di perpustakaan, aku bisa bersama-sama dengan banyak orang yang sendiri-sendiri, tidak akan menggangguku. Aku bahkan bisa membantu seseorang mencari buku yang dibutuhkannya, dan sebaliknya, tanpa pernah ada upaya untuk menanyakan nama dan dari mana. Jadi sewaktu ada ajakan dari Sintanola untuk membantunya membuka perpustakaan di Nias, dengan dana yang sudah tersedia pula, terutama dari mantan kekasihnya seorang pria amerika ganteng bernama Jonathan Abraham Parker, segera kusambut antusias tanpa pikir panjang. Sintanola juga mengajak Leo yang beberapa tahun terakhir ini tetap berteman dengannya lewat internet, sama sepertiku. Karena Sintanola bukan hanya ingin mengumpulkan buku-buku dan membuat perpustakaan secara fisik, tapi juga makin menghidupkan Klub Remaja Perpustakaannya, klub yang sudah ada jauh sebelum perpustakaan secara fisik terealisasi, maka kami pun mengajak dua orang teman trainer yang juga teman jalan-jalan kami sepanjang masa, Felix dan Rudolf.

Klub Remaja Perpustakaan Fodo sudah lama ada sebelum kami mengirim ratusan buku-buku ke sini dan datang dengan membawa ratusan buku lagi. Buku-buku ini sebagian buku baru yang kami beli di toko-toko buku berdiskon di Jogja, sebagian lagi buku lama, sumbangan dari orang-orang. Di perpustakaan ini juga ada banyak buku berbahasa Inggris, dikirim Jonathan dari Amerika, sumbangan teman-teman dan keluarganya di sana. Klub Remaja yang dikelola Sintanola dan teman-temannya sudah ada ketika mereka baru memiliki sedikit buku dan majalah, saling tukar menukar dan pinjam meminjam di antara mereka. Membeli dan meminjam buku di Gunungsitoli bukan perkara mudah. Kota ini berkeadaan mengenaskan sama seperti banyak kota kecil lainnya di Indonesia: tidak memiliki toko buku. Ada banyak pasar, toko dan warung, tapi tidak ada toko buku. Juga tak ada perpustakaan umum yang menarik, yang menyediakan buku-buku populer dan umum, bukan hanya buku-buku literatur minat khusus yang terlalu berat untuk kalangan umum.

Bangunan kayu tak berdinding di halaman rumah Sintanola sekarang telah diberi dinding yang sekaligus didisain berfungsi sebagai rak-rak buku di bagian dalam. Dindingnya didisain bercelah-celah tipis untuk mengalirkan angin pantai dari luar. Disain perpustakaan ini dirancang sendiri oleh Sintanola dan ayahnya, Tawa Serius. Jonathan Parker, mantan kekasih ‘cinta lokasi’ Sintanola yang setelah putus sebagai kekasih singkat telah menjadi sahabat sehati selama bertahun terakhir ini, sangat terlibat dalam pengadaan perpustakaan. Meskipun ia berada di seberang pasifik, di benua Amerika, terlibat lewat diskusi-diskusi melalui internet bukan hal yang sulit. Sama seperti Sintanola dan kami, Jonathan juga sangat memprihatinkan keadaan kota seperti Gunungsitoli yang tidak memiliki toko buku dan perpustakaan. Banyak manusia, tak ada buku. Tak asyik lah itu.

Tak seasyik kegiatan di perpustakaan Fodo saat ini. Larut siang menjelang sore yang cerah berangin, belasan anggota Klub Remaja Perpustakaan Fodo (KRPF) yang lebar rentang usianya melebihi batasan remaja, sedang asyik berkeliaran di pantai, mencari inspirasi, kata mereka. Dari anggota paling tua, Ama* Osa yang berusia 33 sampai Deflin Zega yang masih kelas lima esde, asyik berkeliaran atau nongkrong di perpusatakaan, di pantai dan sekitarnya, berbekalkan buku tulis dan pulpen. Mereka mencari ide untuk mengerjakan tugas dari Rudolf. Hari ini KRPF berkumpul dalam ruangan perpustakaan untuk sama-sama latihan menulis. Setelah berbagai permainan kelompok dan diskusi singkat yang difasilitasi Rudolf dan Felix, sekarang mereka ditugasi menulis dengan bentuk, tema dan isi bebas. Boleh cari inspirasi dari mana saja, tapi tentu saja inspirasi paling dalam adalah dari dalam diri mereka sendiri. Mereka diberi jangka waktu sekitar satu jam untuk beredar bebas di sekitar perpustakaan, tetap di dalam perpustakaan juga boleh, untuk mencari inspirasi atau apa saja dan mulai menulis apa saja.

Aku bermain-main di pantai bersama keempat temanku sambil memperhatikan para anggota KRPF. Bila aku melempar sendal ke arah laut, atau ke arah pasir pantai, keempat temanku akan segera berlomba lari dan renang memperebutkan sendalku yang kemudian dikembalikan padaku. Marmut, Simba, Mossy, dan Peggy, keempat temanku yang berbulu pendek ini, adalah anjing-anjing kampung peliharaan Sintanola. Sejak datang ke Fodo, mereka menjadi teman joggingku di pantai.

Kalau kamu pergi ke pulau Nias, dan kamu tak suka main di pantai, kamu akan rugi sendiri. Karena kelebihan Nias adalah pantainya. Pantai yang panjang dan sepanjang pantai dialiri oleh kehidupan manusia yang tak ada habis-habisnya. Kota di tepi pantai. Kampung dibelah muara teduh. Jalan-jalan beraspal menyusuri pantai berumput dinaungi pohon-pohon kelapa. Rumah-rumah kecil yang bagian depannya menghadap jalan dan bagian belakangnya memantati pantai dan sayangnya, sampah menggunung di belakang rumah meracuni pantai. Kulit-kulit durian tampak bagaikan pulau-pulau yang mengapung tenang dari pantai ke arah laut, makin jauh, menuju samudera bebas, tampak tenang tapi membawa ancaman yang mengerikan bagi para penghuni laut. Bagaimana bila kulit-kulit durian itu, yang setelah buahnya yang berlimpah dinikmati manusia, kulitnya dilempar begitu saja ke laut, ditemukan oleh gerombolan lumba-lumba ceria yang mengira mereka adalah sarana bermain atau makanan baru? Moncong dan kulit lumba-lumba berdarah-darah sudah jauh dari pandangan mata si manusia yang makan durian dan membuang kulitnya tanpa berpikir panjang. Kerongkongan dan tenggorokan seekor mamalia laut besar yang tersedak durian tentu bukan keprihatinan si manusia yang kekenyangan makan durian sampai mabuk tanpa memikirkan sampahnya. Pohon durian tumbuh di bukit-bukit rendah berhutan pada bagian-bagian tengah pulau Nias, agak jauh dari pantai. Kalau bukan karena manusia yang membawanya, tak mungkinlah pulau kulit durian akan melayang tenang dari pantai Gunungsitoli, entah akan terbawa ombak ke mana membawa segala ancamannya.

Tak terasa waktu satu jam telah mengalir. Para anggota KRPF kembali ke dalam ruangan perpustakaan untuk melanjutkan kegiatan pelatihan mereka. Aku akan segera menyusul, tapi masih asyik main lempar-lemparan dengan keempat anjing peliharaan Sintanola. Sebentar lagi lah. Aku sedang gembira. Ini tahun 2008. Umurku 38. Delapan dan delapan, dua tumpukan bulatan bersisian, 88, kata orang Tionghoa, hoki. Keempat anjing pantai yang langsing, lincah dan lucu ini, Mossy, Peggy, Marmut dan Simba, benar-benar mencintaiku tanpa syarat. Apa lagi yang kurang? I have nothing to loose.

Kuambil sepotong ranting dan kulempar jauh di pasir pantai. Lagi-lagi Peggy yang tungkainya paling panjang, jadi pemenang perebut ranting. Ketiga anjing lain segera berebut ranting di moncong Peggy, menghalanginya berlari membawa ranting balik kepadaku. Anjing-anjing ini benar-benar makhluk penuh semangat. Mossy yang paling kekar berhasil merebut ranting dari moncong Peggy yang marah. Dikejarnya Mossy yang berlari cepat untuk mengantarkan ranting tadi kepadaku. Oh, hanya di tengah para anjing aku merasakan cinta tanpa syarat semengharukan ini. Marmut dan Simba, anjing-anjing kampung bertubuh kecil yang sudah menerima posisi mereka yang bukan sebagai anjing alfa, menampilkan tarian penggembira yang setia, berlari-lari, melonjak-lonjak, menyalak-nyalak ribut di sekitar Peggy dan Mossy. Terjadilah tarik-tarikan ranting antara Mossy dan Peggy, bagaikan tarik tambang a la anjing. Marmut memilih untuk mendukung Mossy, digigitnya pantat Peggy sambil cepat-cepat melompat menjauh setelah menggigit, mungkin dia kuatir Peggy akan balas menggigitnya. Mula-mula Peggy tak terganggu namun lama-lama perhatiannya terbelah dan dia pun marah seakan hendak menerkam Marmut. Simba yang paling penakut, bergerak ke arah kakiku dan menempelkan pantatnya ke tulang keringku sambil mendengking-dengking tidak merdu. Aku tertawa terkekeh-kekeh dan segera menggendong anjing bertubuh mungil kurus itu, aku tahu dia sangat takut. Dulu aku pernah punya anjing yang sama penakutnya dengan Simba.

Aku tahu bagaimana menghentikan perkelahian kedua anjing yang masih saja selalu berebut posisi anjing alfa, Mossy dan Peggy. Kupanggil nama mereka, lalu berlari cepat melewati mereka. Dengan segera mereka berdua berlomba lari mengejarku. Peggy menubrukku dari belakang dan aku beserta Simba dalam gendonganku pun terpuruk ke pasir. Aku berbaring kelelahan di pasir, dan rupanya kedua kandidat anjing alfa juga agak kelelahan, mereka sudah lupa perkelahian mereka sebelumnya, dan terengah-engah di dekatku dengan lidah menjulur meneteskan liur bau mereka. Simba menjilat-jilat wajahku dengan manjanya. Ah, senangnya! O ya, aku harus cepat-cepat balik ke perpustakaan.

Duduk mengatur nafas, aku bersiap kembali ke perpustakaan. Kukibas-kibaskan pasir yang menempel di badanku sambil beranjak berdiri. Mossy, Peggy, dan Simba pun beranjak hendak mengikutiku, seakan mereka semua sepakat bahwa aku lah sang anjing alfa di antara mereka. Lho, tapi mana Marmut? Kuedarkan pandang berkeliling mencari Marmut, tapi tentu saja ketiga anjing telah lebih dulu melihatnya. Mereka segera berlari ke arah Marmut yang sedang berada di bawah pohon kelapa, dalam pelukan seseorang berbadan besar, yang tak lain adalah Rudolf, yang bukannya seharusnya sedang dalam perpustakaan memimpin pelatihan?

Ternyata ada masalah. Bukan masalah dengan pelatihan yang sekarang sedang difasilitasi Felix dan Leo, tapi masalah rumah tangga Rudolf. Rudolf tak pernah menikah, tapi dia mengurusi rumah tangganya, yang anggotanya adalah ibunya yang sudah tua tapi masih lincah memasak dan mengurus rumah, seorang pembantu rumah tangga yang juga sudah tua sebaya ibunya, dan seekor anjing golden retriever tinggi gemuk betina bernama Heaven. Di sinilah letak masalah kita, teman! Sangat mengkhawatirkan sampai Rudolf terduduk gemetar kebingungan: Heaven telah hilang. Sejak kemarin sore.

Ibu dan pembantu rumah tangganya yang kebingungan dan sangat sedih tak tahan lagi untuk tidak menelepon Rudolf dan memberitahukan hal ini. Aku pun jadi panik dan bingung. Anjing yang hilang membuat pemiliknya merasa tak berdaya. Anjing sakit atau meninggal, kita sedih tapi tahu nasibnya. Anjing kesayangan hilang, tak tahu di mana dan bagaimana keadaannya, benar-benar tak tertahankan goncangan emosi yang dialami pemiliknya. Apakah dia tersesat dan kebingungan? Apakah dia kelaparan? Apakah dia diculik? Apakah dia dirawat dengan baik oleh penculiknya? Apakah dia dijual? Apakah dia tertabrak mobil? Apakah dia … oh, sudahlah, oh Tuhan, Heaven pasti masih hidup kan? Aku kenal Heaven karena aku sering main ke rumah Rudolf di Jogja. Sekarang aku juga bingung, ujung jari telunjukku terasa sakit karena tak sadar telah kugigit kuat-kuat sejak mendengar berita Rudolf. Apa yang harus kulakukan? Apa yang bisa kulakukan? Apakah Felix dan Leo sudah tahu hal ini?

Seusai pelatihan, Felix, Leo dan Sintanola menjumpai kami yang masih terduduk di bawah pohon kelapa. Rupanya mereka belum tahu tentang hilangnya Heaven. Rudolf telah menelepon semua orang: tetangga-tetangganya, keluarganya, teman-temannya, dokter hewannya, pet shop langganannya, rumah sakit hewan UGM, kelompok penyelamat satwa Yogyakarta, bahkan polsek Condong Catur. Tak ada yang tahu keberadaan anjing golden retriever bernama Heaven.

Semalaman Rudolf gelisah terus. Sampai pagi belum ada berita keberadaan Heaven. Rudolf memutuskan pulang duluan ke Yogyakarta. Yah, tak ada yang bisa mengikatnya di sini. Kami ke sini benar-benar hanya membantu Sintanola sekaligus jalan-jalan, tak dibayar. Biaya transportasi ke sini dan nantinya untuk pulang ke Yogyakarta pun kami bayar sendiri-sendiri. Kami ke sini untuk membantu Sintanola sekaligus berjalan-jalan, bukan untuk bekerja. Menyelenggarakan perpustakaan di Nias dan jalan-jalan tanpa perlu keluar biaya penginapan karena menginap di rumah Sintanola, sudah sebuah ‘rasa gratisan’ besar buat kami. Semua dilakukan karena senang, karena suka.

Saat ini pukul sebelas siang, aku menjaga perpustakaan bersama Sintanola dan dua orang anggota KRPF. Perpustakaan buka untuk umum sejak pukul sembilan pagi, istirahat pukul dua belas, dan buka lagi pukul dua siang sampai pukul sembilan malam. Kadang perpustakaan ditutup sementara bila ada acara pelatihan seperti kemarin. Acara-acara di perpustakaan ini tidak terbatas hanya untuk anggota KRPF, siapa saja yang berminat bisa ikut. Kami dan para anggota KRPF sebisanya bergantian mengawaki perpustakaan berdinding kayu ini.

Rencananya, beberapa minggu lagi kami akan pulang ke Yogyakarta. Sintanola dan beberapa anggota KRPF akan ikut perjalanan pulang kami, yang rencananya lewat darat, eh, lewat laut dulu menyeberang ke Sibolga, lalu melakukan perjalanan darat yang lumayan panjang dengan mobil sewaan menyusuri Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan sampai melewati perbatasan Sumatera Utara dan Sumatera Barat, berhenti beberapa hari untuk menikmati kota Bukittinggi, lalu meneruskan perjalanan udara ke Yogyakarta lewat Bandara Internasional Minangkabau di Padang. Biaya akan ditanggung secara patungan. Kami akan jalan a la backpacker seperti biasa, mencari akomodasi murah yang pas dengan kantong kami. Aku, Sintanola, Felix, dan Leo jadi agak sedih karena Rudolf telah pulang duluan untuk mencari anjingnya yang hilang, sehingga tidak bisa ikut perjalanan pulang yang direncanakan. Akan sangat berkurang keramaian perjalanan nanti, karena duo Rudolf dan Felix adalah para pencemooh dan penggembira suasana. Lelucon-lelucon dan cemoohan mereka yang sadis saling mencemooh merupakan hiburan gratis bagi aku dan Leo yang sama-sama terlalu pendiam untuk dianggap lucu. Tanpa Rudolf, Felix cenderung beralih peran dari pencemooh menjadi satria bergitar, bernyanyi-nyanyi sepanjang hari dengan gitarnya, tak terlalu pede mengungkapkan cemoohan dan lelucon-lelucon spontannya.

Sebentar lagi istirahat siang. Para pengunjung perpustakaan mulai berdatangan mendaftarkan buku-buku yang akan mereka pinjam. Aku mencatat dengan lamban karena hatiku sedang tak menentu. Cemas akan nasib Heaven. Sedih karena Rudolf sudah pulang duluan. Dan, seperti selalu terjadi padaku, tiap kali aku sedih, aku ingat sama Lai** Candle. Seakan untuk menambah sedihku aku harus selalu teringat dia bila sedang sedih. Candle Light Carol, pemilik nama indah itu, adalah perempuan cantik seumur denganku. Bisa dikatakan bukan hanya jumlah tahun usia kami sama, jumlah jamnya pun sama. Hanya beberapa menit bedanya, kata mama. Lai Candle beberapa menit lebih tua dariku. Kami, seperti bisa kau tebak, saudara kembar. Harusnya tak kupanggil dia lai lagi karena dia telah menikah, tapi aku sudah kebiasaan memanggilnya lai sejak masih kecil di Toraja.

Sewaktu kami lahir, orangtua kami tidak berminat untuk memberikan nama yang mirip bagi kami berdua, seperti kebiasaan orang-orangtua anak kembar lainnya. Mereka membagi kami. Papa yang romantis mendapat bagian memberi nama anak yang duluan lahir, mama yang suka berubah-ubah yang akan memberi nama anak yang lahir belakangan, aku. Papa tak butuh waktu lama untuk menamai peri ciliknya dengan nama yang terlalu romantis untuk dapat dipercaya, Candle Light Carol. Bagiku, namanya sangaaat … indah. Aku mencemburuinya selama bertahun-tahun karena mendapatkan nama yang begitu luar biasa. Sementara aku, yang mendapat giliran dinamai oleh mama yang baru saja lelah melahirkan, ditambah sifatnya yang tak pernah puas, penuh jiwa petualangan dan selalu berubah-ubah, telah mendapat tiga nama sebelum Gandhy Indiana tertera di akte kelahiranku. Tiga hari setelah Candle mendapat namanya, belum juga mama temukan nama untukku. Hari keempat aku bernama Gita Chantika Paramanandi. Minggu depannya aku bernama Giselle Summer, untunglah mamaku suka berubah pikiran sehingga nama yang seperti pelajaran bahasa Inggris ini masih berganti lagi beberapa hari kemudian, menjadi Joyful June, katanya karena kami lahir bulan Juni. Mama benar-benar parah, Joyful June bahkan lebih konyol daripada Giselle Summer. Aku harus berterimakasih pada sebuah buku autobiografi Mohandas Gandhi dan komik Indiana Jones yang dibaca mama disela-sela waktu merawat kedua anak kembarnya, sehingga aku mendapatkan Gandhy Indiana sebagai nama yang tertera di akte kelahiranku. Meskipun tak seindah Candle Light Carol, nama saudara kembarku, tapi namaku lebih cocok dengan kepribadianku sekarang. Betapapun keindahannya kucemburui, rasanya aku tak kan sanggup menyandang beratnya nama seindah Candle Light Carol.

Setelah melahirkan anak-anak pertamanya yang kembar, mama tak ingin punya anak lagi, jadi kami hanya duo kembar bersaudara sejak kecil. Papa telah meninggal ketika Lai Candle masih kuliah dan aku yang tak pernah kuliah masih ‘lebih luntang lantung daripada sekarang.’ Mama pun telah meninggal, empat tahun lalu, beberapa bulan setelah Lai Candle menikah dengan seorang pria bernama aneh, Monitor Silangit, orang batak Karo. Keempat kakek nenek kami dari papa maupun mama telah lebih dulu lagi meninggal. Papa seorang anak tunggal, sedangkan mama hanya punya satu adik, om Tandi, lelaki ganteng yang tak pernah menikah sampai usia tuanya kini. Jadi sekarang keluarga terdekatku bisa dibilang tinggal saudara kembarku Candle, dan om Tandi.

Dahulu aku dan Candle adalah sahabat yang kompak, meski penampilan kami sangat ber beda. Dia gendut, keren dan cantik, sedangkan aku tinggi, kurus, dan hampir tak punya jenis pakaian lain selain celana jeans tambah kaos oblong. Semuanya berubah sejak di menikah, bahkan sejak dia berencana menikah, menurutku. Entah kenapa sejak menikah dia terasa jadi seperti tokoh perempuan cantik neurotik di film-film holywood, selalu ingin sempurna, penuntut, dan suka marah-marah. Kami makin hari makin jauh sejak dia menikahi Monitor Silangit, akhir-akhir ini bahkan aku sudah tak pernah saling berkabar dengannya. Mungkin dia terlalu sibuk jadi nyonya-nyonya keren di Jakarta, keluar masuk berbagai mall yang tak ada habis-habisnya. Aku menganggap kenyataan ini sebagai hal kecil, biar sajalah. Dengan berlalunya waktu, mungkin suatu saat aku akan bersahabat lagi dengan kembarku. Tapi tetap saja, bila sedang sedih, ingatan akan Lai Candle seolah mengiris suatu garis di pangkal leherku.

Sudah jam istirahat dan Sintanola mengajakku makan siang di tepi pantai. Duduk di atas batangan bangkai pohon kelapa yang melintang di pasir, di bawah naungan payung tancap portabel dari kayu dan kain-kain ulos batak warna warni buatan tangan Tawarius, papanya Sintanola, kami makan bekal yang kami bawa dari warung sea food milik Sintanola: setoples penuh cumi goreng tepung, sebotol besar coca cola dingin, setoples besar kentang goreng, dan sebotol sambal abc super pedas. Nyam nyam. Hari yang indah di bawah mentari. Sinarnya yang terik menguapkan segala kegalauan hatiku tadi. Anjing-anjing Sintanola beredar di seputar kami, lincah menyambut lemparan kentang dan cumi goreng. Sintanola sangat cantik. Di mataku, hampir semua perempuan kelihatan cantik, kecuali seseorang di dalam cermin, aku sendiri. Mungkin aku punya masalah psikologis berkaitan dengan hal ini, hahaha. Biarlah. Aku sudah puas dengan tubuhku yang sehat dan tetap kurus walau sebanyak apa pun aku makan, sehingga aku selalu bisa dengan lincah melompat-lompat bersama para anjing di usia nyaris empat puluh ini.

* Ama Osa berarti bapak(nya) Osa. Di Nias, orang yang telah memiliki anak biasanya dipanggil berdasarkan nama anak pertamanya. Ama berarti bapak dan ina berarti ibu, jadi Ina Osa adalah ibu(nya) Osa.

** Di Tana Toraja, perempuan yang belum menikah biasanya diberi tambahan ‘lai’ di bagian depan nama panggilannya. Jadi semestinya setelah menikah, Candle tidak dipanggil lai Candle lagi. Ada hal menarik bahwa di Toraja, orang yang sudah punya anak biasanya juga dipanggil dengan nama anak pertamanya, seperti di Nias. Misalnya: Ambe Candle berarti bapak(nya) Candle, dan indo Candle berarti ibu(nya) Candle.

( B E R S A M B U N G )

SENANDIKA (bagian 2)

Aku, Leo, Rudolf dan Felix datang ke pulau Nias ini sekitar sebulan yang lalu untuk membawa buku-buku dan membantu Sintanola membuka perpustakaan di rumahnya yang besar dan berhalaman luas tanpa pagar di tepi pantai Fodo, Gunungsitoli. Kota kecil di tepi pantai dengan cuaca senantiasa panas dan menawarkan keceriaan hidup di bawah matahari tropis ini, adalah ibukota kabupaten Nias. Pulau Nias, yang secara administrasi termasuk bagian propinsi Sumatera Utara, terbagi atas beberapa kabupaten. Pertama kali aku mengenal pasir agak bulat berwarna coklat muda kemerahan di pantai Fodo, terjadi beberapa tahun sebelum ini, tahun 2005, ketika aku ke sini untuk menjadi relawan di program trauma healing sebuah lembaga sosial, setelah terjadi gempa bumi.

Di tahun 2005 itulah aku berkenalan dengan Sintanola Marunduri, yang punya bapak bernama lucu, Tawarius Marunduri. Tawarius, Tawa Serius. Bapaknya tidak pernah marah kalau aku sengaja memplesetkan namanya menjadi Tawa Serius, dan Sintanola mewarisi kerendahan hati serta selera humor yang sama. Gempa bumi telah menghancurkan banyak bangunan di kota Gunungsitoli, tapi rumah besar mereka yang dibangun dari kayu hanya mengalami sedikit kerusakan. Tawa Serius menyediakan lahan halaman rumahnya yang besar untuk dipakai oleh lembaga tempat aku bekerja sebagai trauma healing center. Sebuah bangunan tak berdinding dari kayu dibangun untuk tempat kegiatan-kegiatan pendampingan trauma healing bagi orang dewasa dan anak-anak.

Sampai sekarang bangunan tersebut masih ada meskipun program trauma healing sudah selesai. Rumah kayu yang silir karena tak berdinding tapi diapit banyak pohon besar di halaman, menjadi tempat berbagai acara warga sekitar rumah Tawa Serius. Rumahnya yang tak berpagar sudah menunjukkan kesediaannya berbagi kawasan dengan yang membutuhkan. Sintanola, yang di tahun 2005 baru tamat SMA dan sekarang mencoba berbisnis makanan laut di sekitar pantai Fodo juga, sejak lama merindukan sebuah perpustakaan diadakan di rumah kayu itu. Setelah mulai lancar berjualan kepiting saos padang, cumi goreng tepung, udang goreng mentega (di warung Sintanola, sebenarnya dimasak dengan minyak goreng dan margarin, bukan mentega) dan berbagai makanan hasil laut lainnya, kini ia merasa cukup punya modal mewujudkan impiannya. Aku dan Leo yang di tahun 2005 bersama-sama dengan Sintanola menjadi relawan trauma healing, ikut diajak Sintanola untuk bekerjasama mewujudkan perpustakaan kecilnya. Kecil-kecil dahulu lah, katanya. Lama-lama kan, kita lihat sendiri perkembangannya, bisa tambah besar, atau tetap kecil juga tidak apa-apa.

Tawa Serius yang sangat menyayangi anak tunggalnya tentu saja ikut membantu nambah-nambah biaya. Tapi sebenarnya dana yang paling banyak datang dari mantan kekasih Sintanola, yang juga dikenalnya ketika menjadi relawan trauma healing. Jonathan Abraham Parker, lelaki Amerika yang di tahun 2005 datang ke Banda Aceh dan Nias sebagai relawan kemanusiaan setelah tsunami dan gempa bumi. Dua ribu dolar adalah jumlah yang pas-pasan untuk hidup sederhana selama sebulan di Amerika, kata Jonathan. Tapi bila dirupiahkan, jumlah sekitar delapan belas juta rupiah menjadi sangat berarti untuk membantu mantan kekasihnya membuat perpustakaan impiannya. Bagaimana mantan kekasih ini bisa begitu rela menyerahkan dua ribu dolarnya untuk mantan kekasihnya, akan kukisahkan padamu nanti. Sementara itu, kita kembali dulu ke hari ketika aku makan kepala anak babi di Sirombu, karena aku ingin menceritakan padamu tentang bintang di langit Sirombu, daerah pesisir di bagian barat pulau Nias.

Setelah menyantap kepala anak babi yang ternyata enak juga dimakan dengan cocolan sambal kecap asin khas Nias (sambal ini mirip sambal kecap manis yang biasa dibuat di Jawa, tapi kecap manisnya diganti dengan kecap asin. Saat ini di Nias sudah banyak dijual kecap manis, tapi sewaktu aku menjadi relawan di Nias tahun 2005, aku agak terkejut mendapati betapa susahnya mencari kecap manis di toko-toko dan warung-warung di Nias), dalam perjalanan pulang di mobil, harus kuakui, seperti biasa, kami berempat ribut. Tidak bisa dibilang berantem, tapi masing-masing ngotot ingin keinginannya yang dijalankan. Jadi kami berhenti dulu di sebuah gubuk kecil di tepi jalan kecil yang mendaki dan berliku, untuk membeli durian sambil berdiskusi lagi untuk mengambil keputusan apakah akan pulang ke Gunungsitoli atau menginap di Sirombu. Rudolf dan Felix ingin cepat-cepat pulang ke Gunungsitoli, alasan mereka, ada janji dengan Sintanola untuk makan malam sambil mendiskusikan isi acara Klub Remaja Perpustakaan Fodo yang akan diadakan hari selasa sore. Ini hari minggu, jadi masih dua hari. Aku dan Leo, yang sama-sama ingin sekali melihat lagi bintang di langit Sirombu, menganggap diskusi dengan Sintanola bisa diadakan hari senin, sehingga malam ini lebih baik menginap di Sirombu, bisa berenang sore-sore lalu menikmati malam berbintang yang tiada taranya.

Ini to, penting sekali acaranya, ko tahu to, Gandhy to, remaja to, yang mengaktifkan perpustakaan kalau kita so pulang ke Jogja,” kata Felix, yang meskipun sudah bertahun-tahun tinggal di Jogja, tapi ketika berbicara dengan agak emosi, dia akan kehilangan kontrol dan keluarlah logat aslinya yang aneh yang penuh dengan penekanan ‘to’. Mungkin ini pengaruh masa kecilnya di Sangir Talaud dan masa remajanya di Makassar, yang menyebabkan logat asli Felix dalam berbahasa Indonesia menjadi lucu. Tapi jangan salah, Felix adalah pembicara yang andal di depan umum, dan ketika dia memimpin pelatihan atau semacamnya, dia akan berbicara dengan bahasa Indonesia yang sangat baik.

Tentu saja aku tertawa, bukan karena isi kalimat Felix lucu, tapi cara berbicaranya membuat aku, dan ternyata bukan hanya aku, Rudolf dan Leo pun jadi tertawa geli.

Sudah to, Felix to,” Rudolf tak bisa menahan tawanya sambil berbicara menggoda Felix, sampai-sampai durian kuning meleset ke atas bibirnya di bawah hidung.

Kita mengalah sajalah, Lix, kau lihat nih, durian-durian enak begini kita beli saja banyak-banyak mumpung harganya murah, lalu makanlah kita sambil berenang di pantai Sirombu”, lanjut Rudolf Rajagukguk, yang setelah sebulan di Nias, logat bataknya kumat lagi.

Begitulah, karena sekarang sudah tiga lawan satu, maka Felix pun mengalah, dan kami menginap di Sirombu malam itu. Setelah memborong durian Nias yang kecil-kecil tapi isinya legit menyengat nikmat di lidah, pantai Sirombu menjadi tujuan kami untuk melewatkan sisa hari itu. Dengan lima puluh ribu rupiah, di Jogja sudah terasa murah bila bisa membeli tiga buah durian, tapi di pulau Nias nan manis ini, kami memborong dua puluh buah durian dengan selembar limapuluhribuan. Hanya dua ribu lima ratus sebuah. Waktu tahun 2005 aku ke sini, harganya ketika musim durian bahkan menurun hingga seribu rupiah per buah. Dengan sepuluh ribu kamu bisa dapat sepuluh durian. Makanya di Nias ini kita bisa pesta durian sampai benar-benar mabuk. Mungkin karena di sini ketika musim durian tiba, benar-benar tersedia sangat melimpah buahnya, orang-orang Nias menikmati durian dengan bebas, tidak seperti di Jawa yang dinilai lebih tinggi karena harganya mahal. Di Nias, banyak orang yang suka makan durian mentah. Bukan hanya durian matang manis agak beralkohol yang disukai, tapi juga yang masih mentah, daging durian keras yang manis agak tawar non alkohol. Aku bahkan kenal seorang teman di Gunungsitoli, yang ketika musim durian, kalau marah akan memotong-motong buah-buah durian sampai hancur. Hanya dipotong-potong sambil ngomel-ngomel, tidak dimakan.

Dengan dua puluh durian untuk empat orang, dan perut yang sudah kenyang kepala babi dan durian yang dimakan di gubuk penjualnya, kami bertolak ke barat, menuju pantai Sirombu yang pernah terkena ombak tsunami Aceh tahun 2004. Sepanjang jalan dalam mobil beraroma durian diiringi lagu-lagu berbahasa Nias berirama semi dangdut, hati kami terasa riang ringan, namun perut kami berat kekenyangan. Setibanya di pantai setiap orang berkegiatan sendiri-sendiri sesuka hati, Felix yang keturunan nenek moyangnya yang orang pelaut Sangihe segera berenang lincah bak lumba-lumba kurus. Aku bermain pasir pantai Sirombu yang putih, lembut, jauh lebih halus dari pasir di pantai Fodo. Setelah puas bermain pasir, aku berendam di laut, lalu bermain pasir lagi, lalu berendam lagi, sambil membuai mata dengan pemandangan pantai dan langit biru yang luas indahnya, indah luasnya. Sambil menikmati pantai, Leo sang pemburu tentu saja berburu, baik pemandangan makro maupun mikro untuk difotonya, juga berbagai kulit kerang, potongan karang, bintang laut, kepiting kecil, dan sebagainya untuk diperhatikan dengan saksama. Dari jauh kulihat Rudolf sedang mengobrol dengan nelayan yang baru mendarat membawa ikan-ikan besar kecil. Segera saja kami semua tertarik dan ikut mengerubungi perahu nelayan yang berisi aneka ikan laut bermacam ragam bentuk dan warna. “Ini ikan kakaktua! Kalau di sangir kita bilang ini ikan kakaktua,” kata Felix sambil mengangkat seekor ikan karang sepanjang sekitar tiga puluh senti, gendut, bermoncong tebal dengan warna sisik memukau: kadang kebiruan kadang kehijauan, tergantung arah cahaya matahari yang terpantul di kulitnya. Segera Leo mengabadikan Felix yang mengangkat ikan kakaktuanya dengan senyum penuh kemenangan bak nelayan Sangir dari utara Minahasa.

Pantai Sirombu menghadap barat sehingga sang surya yang meredup oranye dan menurun di ufuk bisa kami nikmati sambil duduk tertegun di bibir pantai. Bahkan Felix dan Rudolf yang ceriwis pun tak berkata-kata, hanya terpana memandang syahdunya sang dewa mahatari mengundurkan diri dari tahta siangnya. Wajah mentari bulat oranye bersinar lembut di langit yang bernuansa ungu merah jambon keemasan berbatas laut yang berangsur menggelap berwarna biru kehitaman. Seperti biasa sang kamerad tak kan melewatkan wajah sang dewi mentari dari moncong kameranya.

Setelah sang raja siang turun tahta, terbitlah di langit para peri malam. Saat ini bulan tua, jadi kami bisa menyaksikan banyak sekali bintang bermunculan. Sedang tak ada cahaya mentari yang dipantulkan bulan, dan kami berada di pantai tanpa lampu. Langit malam seolah membuka rahasianya di atas kami. Langit indah yang dicemburui oleh lampu-lampu kota yang tak mampu menyaingi keindahannya secuil pun. Manusia yang membuat kota telah memasang jutaan lampu di malam hari, memberi begitu besar polusi cahaya lampu listrik sehingga pemandangan bintang gemintang yang sangat indah di malam hari telah tersembunhyi dari pandangan manusia kota.

Langit malam di Sirombu adalah kenikmatan tak terkira bagi mata. Kami menikmatinya sambil makan durian Nias yang kecil-kecil namun legit di pantai sepi ini. Rasanya benar-benar seperti sedang berada di surga. Lihatlah bintang-bintang itu. Langit penuh bintang begini sekarang hanya bisa dinikmati di daerah-daerah terpencil kurang aliran listrik seperti ini. Jadilah, dunia dilihat dari sini, gelap. Dan bila dunia gelap, langit akan gemerlap.

Tak ada polusi cahaya yang menghalangi mata menerima pemandangan terindah: kerlap kerlip milyaran bintang di langit malam. Sesekali terlihat komet melintas. Ketika bintang berekor melintas, sampaikankanlah rahasia harapan hatimu padanya. Cincin Bimasakti atau kabut susu, yang menyebabkan galaksi Bimasakti disebut juga The Milky Way, bahkan bisa kelihatan. Kamilah para manusia paling bahagia malam ini, bisa menikmati malam sunyi senyap bintang-bintang gemerlap yang nyaris tak pernah muncul di kota. Ditambah pula bisa menikmati durian sebanyak-banyaknya sepuas-puasnya.

Sambil berbaring menatap langit kunikmati durian Nias yang sangat enak, dan rasanya sangat unik. Durian yang sedang kumakan ini lebih nikmat dari biasanya, terasa ada tekstur seperti butiran gula halus di luarnya. Sangat tebal. Hm, enak sekali, kujilat-jilati gula halus yang menutupi daging durian yang lembut manis, sambil menghayalkan perjalanan cahaya dari bintang. Sesungguhnya menatap bintang sama seperti menatap langsung ke masa lalu. Bintang-bintang teramat sangat jauh dari bumi, sehingga cahaya butuh waktu bertahun-tahun, bahkan mungkin ada yang sampai milyaran tahun baru sampai ke bumi, ke mata kita. Bintang yang paling dekat (setelah matahari) dari bumi, konon bernama Proxima Centauri, berjarak sekitar empat tahun cahaya. Satu tahun cahaya sendiri adalah jarak yang sangaaat jauuuuh, sekitar 9,46 trilyun kilometer. Menurutku, karena cahaya dari bintang butuh waktu bertahun-tahun untuk sampai ke mata kita di bumi, maka tampang bintang yang kita lihat sekarang berarti tampang bintang itu bertahun-tahun, mungkin ribuan, jutaan atau bahkan milyaran tahun lalu. Sama saja kan, dengan menatap langsung ke masa lalu? Betapa romatisnya alam semesta ini! Wah, aku harus tanya teman-temanku apakah mereka menyadari hal ini.

Eh, tahu nggak,” tanyaku sambil mengalihkan pandangan ke teman-temanku, dan aku benar-benar kaget. Betapa tidak, bukannya menatap bintang-bintang dari masa lalu, mereka malah ternyata sedang bulat-bulat menatapku! Leo bahkan sedang mengarahkan moncong kameranya ke moncongku yang sedang menjilati durian bertepung gula!

To to to to,” kata Felix terbata-bata. Oh, rupanya dia sedang emosional lagi. “Gandhy, ko sadar to, ko lagi makan durian penuh pasir. Tadi ko guling-guling itu durian di pasir, terus ko jilat-jilat dan makan itu pasir-pasir yang nempel di durianmu. Ko sadar ji?” karena sama-sama pernah sekolah di Makassar, logat Makassarnya sering kumat kalau bicara padaku.

Sst, diam dulu Lix, cahayanya masih kurang,” bisik Leo dari balik kamera. Akhirnya Rudolf tak tahan lagi dan terbahak-bahak mentertawakan aku. Aku malu sekali. Rupanya tak sadar aku telah makan durian berbalut pasir, saking asyiknya menatap bintang di langit Sirombu.

Yah, kalau kita sudah malu, lebih baik sekalian saja mempermalukan diri sendiri, supaya tidak ketahuan kalau kita benar-benar sedang malu. Maka dengan muka merah aku berpose melahap durian berpasir untuk sang kamerad yang dengan telaten mengatur cahaya di kameranya.

(bersambung dulu ya, besok lagi, semoga kamu tak bosan dengan ceritaku… terimakasih, teman!)

SENANDIKA

Aku memang suka makan babi, tapi dagingnya, bukan kepalanya seperti ini. Cincangan kepala anak babi menggunung di piring saji di hadapanku. Dari aroma dan warnanya yang putih kekuningan berminyak, tampaknya masakan ini cuma direbus dengan garam dan bawang putih. Namaku Gandhy, dan hidangan di depanku ini mengingatkanku pada sesuatu dari masa laluku di Tana Toraja. Saat ini aku sedang berada di gereja BNKP, di suatu siang yang panas menyengat, seperti siang-siang lainnya di pulau Nias ini. Teman-temanku yang malang, yang juga harus menyantap hidangan ini untuk menghormati tuan rumah yang mengundang kami, duduk meleleh di sekitarku. Hidung Rudolf tampak makin merah disengat udara Nias, cupingnya bergerak-gerak dalam usahanya membaui aroma kepala anak babi. Sebentar lagi mungkin dia akan mengeluarkan komentar sok ahli tentang masakan kepala anak babi, meniru pak Bondan Winarno idolanya. Kalau pak Bondan Winarno cukup ramping di usianya yang 60-an, Rudolf, lelaki 46 tahun ini memiliki perut yang lumayan kurang enak dilihat. Gendut. Buncit. Mungkin kebanyakan minum bir dan makan penganan enak berlemak.

Di sebelahnya, Leo sibuk membidik kepala anak babi di piring saji dengan kameranya. Ini memang hobinya. Dia akan sangat menyesali kalau kepala anak babi sudah disantap tanpa sempat dia abadikan dulu dengan senjata kamera. Leo seorang kamerad. Kamerad berkamera. Leonard Far Far beberapa tahun lebih muda dariku. Aku sendiri sudah 38, hampir 40 tahun berputar-putar di atas bumi ini tanpa tujuan yang jelas. Aku sudah nongol di bumi ini sepuluh tahun lebih duluan daripada Felix, temanku yang satu lagi, yang berambut keriting agak kasar. Nama lengkapnya, Fransisco Salindeho. Di telingaku, namanya kedengaran sangat gagah, bernuansa Spanyol atau Amerika Latin, kedengarannya cocok sebagai nama bintang sepak bola. Felix turunan orang-orang pelaut dari kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Salindeho adalah nama keluarganya, nama fam, seperti marga bagi orang Batak. Aku rasa ini bukan kebetulan, bahwa kami berempat semuanya mempunyai nama fam atau marga. Rudolf bermarga Rajagukguk. Rudof Rajagukguk, dari namanya sudah ketahuan dia orang batak. Far Far adalah nama fam Leo, yang mengaku keturunan suku Kei dari pulau Kei di Maluku. Aku sendiri, berfam Kadang. Nama lengkapku cukup keren: Gandhy Indiana Kadang. Mamaku pengagum Mahatma Gandhi dan gerakan anti kekerasannya di India.

Kami berempat sudah hampir sebulan ini bermain-main di pulau Nias. Yah, meskipun usiamu 40-an, 30-an, dan akhir 20-an, kalau kamu jomblo easy going seperti kami, ke mana pun pergi bisa terasa seperti bermain. Aku perempuan satu-satunya di antara kami, hal yang sangat menyenangkan, karena bagiku lebih mudah berbicara dengan laki-laki daripada perempuan. Dengan laki-laki aku bahkan tidak perlu sering berbicara. Tapi bisa lebih sering makan-makan.

Clap, clap, clap, bunyi mulut Felix mengecap-ngecap di sebelahku. Ho, rupanya si keriting kurus yang rakus sudah duluan melahap kepala babi. Felix benar-benar aneh kalau sedang makan. Mulutnya ngecap-ngecap sangat ribut dan ia mengunyah dengan mulut mekar terbuka-buka, seakan-akan rahangnya berlebihan energi dan harus disalurkan dengan mengunyah sekencang-kencangnya. Yang paling aneh, tiap kali melihat Felix makan, aku jadi ngiler pingin turut makan apa yang dilahapnya. Seperti sekarang ini. Kepala anak babi rebus tampaknya memang kurang membangkitkan selera makan. Tapi melihat Felix begitu lahap bak anjing belum dikasih makan dua hari, aku jadi berubah persepsi tentang hidangan ini. Lagipula aku teringat sesuatu dari masa laluku.

Sesungguhnya, bentuk dan warna masakan ini membangkitkan memori khusus bagiku. Dulu sekali, waktu masih smp, aku pernah makan nasi dengan lauk daging babi yang hanya direbus dengan bumbu garam. Waktu itu di rumah tidak ada makanan dan tidak ada orang selain aku dan pamanku yang sama-sama tidak bisa memasak. Pamanku, yang kupanggil om Tandi, memotong-motong daging babi mentah yang ada di kulkas, kemudian merebusnya dengan dibumbui garam. Mungkin karena waktu itu aku amat sangat lapar, lebih daripada saat ini, maka babi rebus tanpa bumbu selain garam itu terasa enak sekali dan aku makan sampai kekenyangan.

Daging babi memanglah salah satu daging favoritku. Bagian daging babi yang benar-benar enak adalah sam can, bagian perut, yang terdiri dari tiga lapisan seimbang: daging, paling tebal di bawah, lemak, yang putih transparan agak kenyal di tengah, dan penutup putih kecoklatan yang lebih kenyal di bagian atas, kulitnya. Potongan-potongan sam can ini, untuk dimasak jadi babi kecap atau babi rica ala manado, sempurna. Sedangkan untuk membuat pakpiong babi, masakan tradisional Toraja, tanah kelahiranku, daging babi dipotong besar-besar, lalu … hmm…, sebenarnya aku tidak tahu cara memasak pakpiong babi. Meski sekarang aku sudah lebih mampu memasak dibandingkan ketika smp, tapi pakpiong babi berada jauh di atas kapasitas memasakku. Aku cuma tahu bahwa bumbunya yang paling menonjol adalah daun miyana yang berwarna ungu. Ini bumbu yang unik, dan keunikan lainnya, dimasak dalam batang bambu. Oh, aku benar-benar kehilangan pakpiong babi bertahun-tahun terakhir ini. Masalahnya, adalah, tidak ada warung makanan khas Toraja di Yogyakarta, tempat tinggalku sejak aku tamat sma di Makassar. Kalau warung Manado, Batak, banyak, bahkan makanan Kupang juga ada yang jual, jadi aku tidak kehilangan babi tinoransak, BPK (Babi Panggang Karo), sayur pahit Manado, sop brenebon, RW (Rintek Wuwuk, masakan dari daging anjing khas Minahasa), dan lain-lain. Tapi pakpiong babi, pakpiong ayam, belut raksasa bumbu kluak, pakpiong tedong (kerbau) dan masakan Toraja lainnya, benar-benar sudah jauh di Toraja sana.

Meskipun tubuhku seolah ditakdirkan kurus terus, beratku tidak bisa melampaui 49 kg, aku tukang makan. Selain daging babi, masih banyak makanan favoritku, bisa dibilang hampir semua makanan kecuali jengkol. Makan bukan hanya karena kebutuhan, tapi sebagai hobi. Hobiku yang lain adalah jalan kaki tanpa tujuan, duduk-duduk di bawah pohon rindang, dan membaca buku. Buku apa saja yang menarik bagiku. Aku membaca tanpa tujuan. Sekadar karena suka yang kubaca, sekadar menghibur diri melewatkan waktu, sekadar memuaskan rasa ingin tahu. Aku membaca seperti orang merokok. Untuk mendapatkan kenikmatan. Membaca itu, nikmat. Misalnya bila kubaca buku tulisan Dalai Lama, rasanya seperti menikmati Dalai Lama berbicara lembut langsung di telingaku, sambil aku santai-santai baring-baring. Saat aku bosan dan ngantuk, Dalai Lama akan berhenti bicara, tak menggangguku. Buka buku, tutup buku, sesukaku, nikmat sekali. Buku adalah teman. Dengan buku di pangkuan, aku ada alasan untuk tidak membuka pembicaraan basa-basi dengan orang di sebelahku. Membaca adalah hiburan paling santai dan menyenangkan dalam hidupku yang nikmat ini. Yah, bukannya aku bilang hidupku isinya cuma nikmat-nikmat saja, tapi, aku menikmati hidupku. Lha, kalau hidup tidak dinikmati, buat apa hidup?

(bersambung, besok aku muat lagi lanjutan ceritaku di blog ini ya, trims udah baca …)