Lebih baik sendiri daripada ditemani seseorang yang justru membuat kita merasa semakin out sider dalam sebuah komunitas. Orang yang datang ke sampingmu dan menyerangmu dengan tuntutan: kenapa mojok sendiri di sini? Kenapa diam saja? Kenapa tidak ikut berjoget? Aku kenyang dengan trauma seperti ini sejak kecil. Oleh karena itu aku sangat mencintai perpustakaan. Di perpustakaan, aku bisa bersama-sama dengan banyak orang yang sendiri-sendiri, tidak akan menggangguku. Aku bahkan bisa membantu seseorang mencari buku yang dibutuhkannya, dan sebaliknya, tanpa pernah ada upaya untuk menanyakan nama dan dari mana. Jadi sewaktu ada ajakan dari Sintanola untuk membantunya membuka perpustakaan di Nias, dengan dana yang sudah tersedia pula, terutama dari mantan kekasihnya seorang pria amerika ganteng bernama Jonathan Abraham Parker, segera kusambut antusias tanpa pikir panjang. Sintanola juga mengajak Leo yang beberapa tahun terakhir ini tetap berteman dengannya lewat internet, sama sepertiku. Karena Sintanola bukan hanya ingin mengumpulkan buku-buku dan membuat perpustakaan secara fisik, tapi juga makin menghidupkan Klub Remaja Perpustakaannya, klub yang sudah ada jauh sebelum perpustakaan secara fisik terealisasi, maka kami pun mengajak dua orang teman trainer yang juga teman jalan-jalan kami sepanjang masa, Felix dan Rudolf.
Klub Remaja Perpustakaan Fodo sudah lama ada sebelum kami mengirim ratusan buku-buku ke sini dan datang dengan membawa ratusan buku lagi. Buku-buku ini sebagian buku baru yang kami beli di toko-toko buku berdiskon di Jogja, sebagian lagi buku lama, sumbangan dari orang-orang. Di perpustakaan ini juga ada banyak buku berbahasa Inggris, dikirim Jonathan dari Amerika, sumbangan teman-teman dan keluarganya di sana. Klub Remaja yang dikelola Sintanola dan teman-temannya sudah ada ketika mereka baru memiliki sedikit buku dan majalah, saling tukar menukar dan pinjam meminjam di antara mereka. Membeli dan meminjam buku di Gunungsitoli bukan perkara mudah. Kota ini berkeadaan mengenaskan sama seperti banyak kota kecil lainnya di Indonesia: tidak memiliki toko buku. Ada banyak pasar, toko dan warung, tapi tidak ada toko buku. Juga tak ada perpustakaan umum yang menarik, yang menyediakan buku-buku populer dan umum, bukan hanya buku-buku literatur minat khusus yang terlalu berat untuk kalangan umum.
Bangunan kayu tak berdinding di halaman rumah Sintanola sekarang telah diberi dinding yang sekaligus didisain berfungsi sebagai rak-rak buku di bagian dalam. Dindingnya didisain bercelah-celah tipis untuk mengalirkan angin pantai dari luar. Disain perpustakaan ini dirancang sendiri oleh Sintanola dan ayahnya, Tawa Serius. Jonathan Parker, mantan kekasih ‘cinta lokasi’ Sintanola yang setelah putus sebagai kekasih singkat telah menjadi sahabat sehati selama bertahun terakhir ini, sangat terlibat dalam pengadaan perpustakaan. Meskipun ia berada di seberang pasifik, di benua Amerika, terlibat lewat diskusi-diskusi melalui internet bukan hal yang sulit. Sama seperti Sintanola dan kami, Jonathan juga sangat memprihatinkan keadaan kota seperti Gunungsitoli yang tidak memiliki toko buku dan perpustakaan. Banyak manusia, tak ada buku. Tak asyik lah itu.
Tak seasyik kegiatan di perpustakaan Fodo saat ini. Larut siang menjelang sore yang cerah berangin, belasan anggota Klub Remaja Perpustakaan Fodo (KRPF) yang lebar rentang usianya melebihi batasan remaja, sedang asyik berkeliaran di pantai, mencari inspirasi, kata mereka. Dari anggota paling tua, Ama* Osa yang berusia 33 sampai Deflin Zega yang masih kelas lima esde, asyik berkeliaran atau nongkrong di perpusatakaan, di pantai dan sekitarnya, berbekalkan buku tulis dan pulpen. Mereka mencari ide untuk mengerjakan tugas dari Rudolf. Hari ini KRPF berkumpul dalam ruangan perpustakaan untuk sama-sama latihan menulis. Setelah berbagai permainan kelompok dan diskusi singkat yang difasilitasi Rudolf dan Felix, sekarang mereka ditugasi menulis dengan bentuk, tema dan isi bebas. Boleh cari inspirasi dari mana saja, tapi tentu saja inspirasi paling dalam adalah dari dalam diri mereka sendiri. Mereka diberi jangka waktu sekitar satu jam untuk beredar bebas di sekitar perpustakaan, tetap di dalam perpustakaan juga boleh, untuk mencari inspirasi atau apa saja dan mulai menulis apa saja.
Aku bermain-main di pantai bersama keempat temanku sambil memperhatikan para anggota KRPF. Bila aku melempar sendal ke arah laut, atau ke arah pasir pantai, keempat temanku akan segera berlomba lari dan renang memperebutkan sendalku yang kemudian dikembalikan padaku. Marmut, Simba, Mossy, dan Peggy, keempat temanku yang berbulu pendek ini, adalah anjing-anjing kampung peliharaan Sintanola. Sejak datang ke Fodo, mereka menjadi teman joggingku di pantai.
Kalau kamu pergi ke pulau Nias, dan kamu tak suka main di pantai, kamu akan rugi sendiri. Karena kelebihan Nias adalah pantainya. Pantai yang panjang dan sepanjang pantai dialiri oleh kehidupan manusia yang tak ada habis-habisnya. Kota di tepi pantai. Kampung dibelah muara teduh. Jalan-jalan beraspal menyusuri pantai berumput dinaungi pohon-pohon kelapa. Rumah-rumah kecil yang bagian depannya menghadap jalan dan bagian belakangnya memantati pantai dan sayangnya, sampah menggunung di belakang rumah meracuni pantai. Kulit-kulit durian tampak bagaikan pulau-pulau yang mengapung tenang dari pantai ke arah laut, makin jauh, menuju samudera bebas, tampak tenang tapi membawa ancaman yang mengerikan bagi para penghuni laut. Bagaimana bila kulit-kulit durian itu, yang setelah buahnya yang berlimpah dinikmati manusia, kulitnya dilempar begitu saja ke laut, ditemukan oleh gerombolan lumba-lumba ceria yang mengira mereka adalah sarana bermain atau makanan baru? Moncong dan kulit lumba-lumba berdarah-darah sudah jauh dari pandangan mata si manusia yang makan durian dan membuang kulitnya tanpa berpikir panjang. Kerongkongan dan tenggorokan seekor mamalia laut besar yang tersedak durian tentu bukan keprihatinan si manusia yang kekenyangan makan durian sampai mabuk tanpa memikirkan sampahnya. Pohon durian tumbuh di bukit-bukit rendah berhutan pada bagian-bagian tengah pulau Nias, agak jauh dari pantai. Kalau bukan karena manusia yang membawanya, tak mungkinlah pulau kulit durian akan melayang tenang dari pantai Gunungsitoli, entah akan terbawa ombak ke mana membawa segala ancamannya.
Tak terasa waktu satu jam telah mengalir. Para anggota KRPF kembali ke dalam ruangan perpustakaan untuk melanjutkan kegiatan pelatihan mereka. Aku akan segera menyusul, tapi masih asyik main lempar-lemparan dengan keempat anjing peliharaan Sintanola. Sebentar lagi lah. Aku sedang gembira. Ini tahun 2008. Umurku 38. Delapan dan delapan, dua tumpukan bulatan bersisian, 88, kata orang Tionghoa, hoki. Keempat anjing pantai yang langsing, lincah dan lucu ini, Mossy, Peggy, Marmut dan Simba, benar-benar mencintaiku tanpa syarat. Apa lagi yang kurang? I have nothing to loose.
Kuambil sepotong ranting dan kulempar jauh di pasir pantai. Lagi-lagi Peggy yang tungkainya paling panjang, jadi pemenang perebut ranting. Ketiga anjing lain segera berebut ranting di moncong Peggy, menghalanginya berlari membawa ranting balik kepadaku. Anjing-anjing ini benar-benar makhluk penuh semangat. Mossy yang paling kekar berhasil merebut ranting dari moncong Peggy yang marah. Dikejarnya Mossy yang berlari cepat untuk mengantarkan ranting tadi kepadaku. Oh, hanya di tengah para anjing aku merasakan cinta tanpa syarat semengharukan ini. Marmut dan Simba, anjing-anjing kampung bertubuh kecil yang sudah menerima posisi mereka yang bukan sebagai anjing alfa, menampilkan tarian penggembira yang setia, berlari-lari, melonjak-lonjak, menyalak-nyalak ribut di sekitar Peggy dan Mossy. Terjadilah tarik-tarikan ranting antara Mossy dan Peggy, bagaikan tarik tambang a la anjing. Marmut memilih untuk mendukung Mossy, digigitnya pantat Peggy sambil cepat-cepat melompat menjauh setelah menggigit, mungkin dia kuatir Peggy akan balas menggigitnya. Mula-mula Peggy tak terganggu namun lama-lama perhatiannya terbelah dan dia pun marah seakan hendak menerkam Marmut. Simba yang paling penakut, bergerak ke arah kakiku dan menempelkan pantatnya ke tulang keringku sambil mendengking-dengking tidak merdu. Aku tertawa terkekeh-kekeh dan segera menggendong anjing bertubuh mungil kurus itu, aku tahu dia sangat takut. Dulu aku pernah punya anjing yang sama penakutnya dengan Simba.
Aku tahu bagaimana menghentikan perkelahian kedua anjing yang masih saja selalu berebut posisi anjing alfa, Mossy dan Peggy. Kupanggil nama mereka, lalu berlari cepat melewati mereka. Dengan segera mereka berdua berlomba lari mengejarku. Peggy menubrukku dari belakang dan aku beserta Simba dalam gendonganku pun terpuruk ke pasir. Aku berbaring kelelahan di pasir, dan rupanya kedua kandidat anjing alfa juga agak kelelahan, mereka sudah lupa perkelahian mereka sebelumnya, dan terengah-engah di dekatku dengan lidah menjulur meneteskan liur bau mereka. Simba menjilat-jilat wajahku dengan manjanya. Ah, senangnya! O ya, aku harus cepat-cepat balik ke perpustakaan.
Duduk mengatur nafas, aku bersiap kembali ke perpustakaan. Kukibas-kibaskan pasir yang menempel di badanku sambil beranjak berdiri. Mossy, Peggy, dan Simba pun beranjak hendak mengikutiku, seakan mereka semua sepakat bahwa aku lah sang anjing alfa di antara mereka. Lho, tapi mana Marmut? Kuedarkan pandang berkeliling mencari Marmut, tapi tentu saja ketiga anjing telah lebih dulu melihatnya. Mereka segera berlari ke arah Marmut yang sedang berada di bawah pohon kelapa, dalam pelukan seseorang berbadan besar, yang tak lain adalah Rudolf, yang bukannya seharusnya sedang dalam perpustakaan memimpin pelatihan?
Ternyata ada masalah. Bukan masalah dengan pelatihan yang sekarang sedang difasilitasi Felix dan Leo, tapi masalah rumah tangga Rudolf. Rudolf tak pernah menikah, tapi dia mengurusi rumah tangganya, yang anggotanya adalah ibunya yang sudah tua tapi masih lincah memasak dan mengurus rumah, seorang pembantu rumah tangga yang juga sudah tua sebaya ibunya, dan seekor anjing golden retriever tinggi gemuk betina bernama Heaven. Di sinilah letak masalah kita, teman! Sangat mengkhawatirkan sampai Rudolf terduduk gemetar kebingungan: Heaven telah hilang. Sejak kemarin sore.
Ibu dan pembantu rumah tangganya yang kebingungan dan sangat sedih tak tahan lagi untuk tidak menelepon Rudolf dan memberitahukan hal ini. Aku pun jadi panik dan bingung. Anjing yang hilang membuat pemiliknya merasa tak berdaya. Anjing sakit atau meninggal, kita sedih tapi tahu nasibnya. Anjing kesayangan hilang, tak tahu di mana dan bagaimana keadaannya, benar-benar tak tertahankan goncangan emosi yang dialami pemiliknya. Apakah dia tersesat dan kebingungan? Apakah dia kelaparan? Apakah dia diculik? Apakah dia dirawat dengan baik oleh penculiknya? Apakah dia dijual? Apakah dia tertabrak mobil? Apakah dia … oh, sudahlah, oh Tuhan, Heaven pasti masih hidup kan? Aku kenal Heaven karena aku sering main ke rumah Rudolf di Jogja. Sekarang aku juga bingung, ujung jari telunjukku terasa sakit karena tak sadar telah kugigit kuat-kuat sejak mendengar berita Rudolf. Apa yang harus kulakukan? Apa yang bisa kulakukan? Apakah Felix dan Leo sudah tahu hal ini?
Seusai pelatihan, Felix, Leo dan Sintanola menjumpai kami yang masih terduduk di bawah pohon kelapa. Rupanya mereka belum tahu tentang hilangnya Heaven. Rudolf telah menelepon semua orang: tetangga-tetangganya, keluarganya, teman-temannya, dokter hewannya, pet shop langganannya, rumah sakit hewan UGM, kelompok penyelamat satwa Yogyakarta, bahkan polsek Condong Catur. Tak ada yang tahu keberadaan anjing golden retriever bernama Heaven.
Semalaman Rudolf gelisah terus. Sampai pagi belum ada berita keberadaan Heaven. Rudolf memutuskan pulang duluan ke Yogyakarta. Yah, tak ada yang bisa mengikatnya di sini. Kami ke sini benar-benar hanya membantu Sintanola sekaligus jalan-jalan, tak dibayar. Biaya transportasi ke sini dan nantinya untuk pulang ke Yogyakarta pun kami bayar sendiri-sendiri. Kami ke sini untuk membantu Sintanola sekaligus berjalan-jalan, bukan untuk bekerja. Menyelenggarakan perpustakaan di Nias dan jalan-jalan tanpa perlu keluar biaya penginapan karena menginap di rumah Sintanola, sudah sebuah ‘rasa gratisan’ besar buat kami. Semua dilakukan karena senang, karena suka.
Saat ini pukul sebelas siang, aku menjaga perpustakaan bersama Sintanola dan dua orang anggota KRPF. Perpustakaan buka untuk umum sejak pukul sembilan pagi, istirahat pukul dua belas, dan buka lagi pukul dua siang sampai pukul sembilan malam. Kadang perpustakaan ditutup sementara bila ada acara pelatihan seperti kemarin. Acara-acara di perpustakaan ini tidak terbatas hanya untuk anggota KRPF, siapa saja yang berminat bisa ikut. Kami dan para anggota KRPF sebisanya bergantian mengawaki perpustakaan berdinding kayu ini.
Rencananya, beberapa minggu lagi kami akan pulang ke Yogyakarta. Sintanola dan beberapa anggota KRPF akan ikut perjalanan pulang kami, yang rencananya lewat darat, eh, lewat laut dulu menyeberang ke Sibolga, lalu melakukan perjalanan darat yang lumayan panjang dengan mobil sewaan menyusuri Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan sampai melewati perbatasan Sumatera Utara dan Sumatera Barat, berhenti beberapa hari untuk menikmati kota Bukittinggi, lalu meneruskan perjalanan udara ke Yogyakarta lewat Bandara Internasional Minangkabau di Padang. Biaya akan ditanggung secara patungan. Kami akan jalan a la backpacker seperti biasa, mencari akomodasi murah yang pas dengan kantong kami. Aku, Sintanola, Felix, dan Leo jadi agak sedih karena Rudolf telah pulang duluan untuk mencari anjingnya yang hilang, sehingga tidak bisa ikut perjalanan pulang yang direncanakan. Akan sangat berkurang keramaian perjalanan nanti, karena duo Rudolf dan Felix adalah para pencemooh dan penggembira suasana. Lelucon-lelucon dan cemoohan mereka yang sadis saling mencemooh merupakan hiburan gratis bagi aku dan Leo yang sama-sama terlalu pendiam untuk dianggap lucu. Tanpa Rudolf, Felix cenderung beralih peran dari pencemooh menjadi satria bergitar, bernyanyi-nyanyi sepanjang hari dengan gitarnya, tak terlalu pede mengungkapkan cemoohan dan lelucon-lelucon spontannya.
Sebentar lagi istirahat siang. Para pengunjung perpustakaan mulai berdatangan mendaftarkan buku-buku yang akan mereka pinjam. Aku mencatat dengan lamban karena hatiku sedang tak menentu. Cemas akan nasib Heaven. Sedih karena Rudolf sudah pulang duluan. Dan, seperti selalu terjadi padaku, tiap kali aku sedih, aku ingat sama Lai** Candle. Seakan untuk menambah sedihku aku harus selalu teringat dia bila sedang sedih. Candle Light Carol, pemilik nama indah itu, adalah perempuan cantik seumur denganku. Bisa dikatakan bukan hanya jumlah tahun usia kami sama, jumlah jamnya pun sama. Hanya beberapa menit bedanya, kata mama. Lai Candle beberapa menit lebih tua dariku. Kami, seperti bisa kau tebak, saudara kembar. Harusnya tak kupanggil dia lai lagi karena dia telah menikah, tapi aku sudah kebiasaan memanggilnya lai sejak masih kecil di Toraja.
Sewaktu kami lahir, orangtua kami tidak berminat untuk memberikan nama yang mirip bagi kami berdua, seperti kebiasaan orang-orangtua anak kembar lainnya. Mereka membagi kami. Papa yang romantis mendapat bagian memberi nama anak yang duluan lahir, mama yang suka berubah-ubah yang akan memberi nama anak yang lahir belakangan, aku. Papa tak butuh waktu lama untuk menamai peri ciliknya dengan nama yang terlalu romantis untuk dapat dipercaya, Candle Light Carol. Bagiku, namanya sangaaat … indah. Aku mencemburuinya selama bertahun-tahun karena mendapatkan nama yang begitu luar biasa. Sementara aku, yang mendapat giliran dinamai oleh mama yang baru saja lelah melahirkan, ditambah sifatnya yang tak pernah puas, penuh jiwa petualangan dan selalu berubah-ubah, telah mendapat tiga nama sebelum Gandhy Indiana tertera di akte kelahiranku. Tiga hari setelah Candle mendapat namanya, belum juga mama temukan nama untukku. Hari keempat aku bernama Gita Chantika Paramanandi. Minggu depannya aku bernama Giselle Summer, untunglah mamaku suka berubah pikiran sehingga nama yang seperti pelajaran bahasa Inggris ini masih berganti lagi beberapa hari kemudian, menjadi Joyful June, katanya karena kami lahir bulan Juni. Mama benar-benar parah, Joyful June bahkan lebih konyol daripada Giselle Summer. Aku harus berterimakasih pada sebuah buku autobiografi Mohandas Gandhi dan komik Indiana Jones yang dibaca mama disela-sela waktu merawat kedua anak kembarnya, sehingga aku mendapatkan Gandhy Indiana sebagai nama yang tertera di akte kelahiranku. Meskipun tak seindah Candle Light Carol, nama saudara kembarku, tapi namaku lebih cocok dengan kepribadianku sekarang. Betapapun keindahannya kucemburui, rasanya aku tak kan sanggup menyandang beratnya nama seindah Candle Light Carol.
Setelah melahirkan anak-anak pertamanya yang kembar, mama tak ingin punya anak lagi, jadi kami hanya duo kembar bersaudara sejak kecil. Papa telah meninggal ketika Lai Candle masih kuliah dan aku yang tak pernah kuliah masih ‘lebih luntang lantung daripada sekarang.’ Mama pun telah meninggal, empat tahun lalu, beberapa bulan setelah Lai Candle menikah dengan seorang pria bernama aneh, Monitor Silangit, orang batak Karo. Keempat kakek nenek kami dari papa maupun mama telah lebih dulu lagi meninggal. Papa seorang anak tunggal, sedangkan mama hanya punya satu adik, om Tandi, lelaki ganteng yang tak pernah menikah sampai usia tuanya kini. Jadi sekarang keluarga terdekatku bisa dibilang tinggal saudara kembarku Candle, dan om Tandi.
Dahulu aku dan Candle adalah sahabat yang kompak, meski penampilan kami sangat ber beda. Dia gendut, keren dan cantik, sedangkan aku tinggi, kurus, dan hampir tak punya jenis pakaian lain selain celana jeans tambah kaos oblong. Semuanya berubah sejak di menikah, bahkan sejak dia berencana menikah, menurutku. Entah kenapa sejak menikah dia terasa jadi seperti tokoh perempuan cantik neurotik di film-film holywood, selalu ingin sempurna, penuntut, dan suka marah-marah. Kami makin hari makin jauh sejak dia menikahi Monitor Silangit, akhir-akhir ini bahkan aku sudah tak pernah saling berkabar dengannya. Mungkin dia terlalu sibuk jadi nyonya-nyonya keren di Jakarta, keluar masuk berbagai mall yang tak ada habis-habisnya. Aku menganggap kenyataan ini sebagai hal kecil, biar sajalah. Dengan berlalunya waktu, mungkin suatu saat aku akan bersahabat lagi dengan kembarku. Tapi tetap saja, bila sedang sedih, ingatan akan Lai Candle seolah mengiris suatu garis di pangkal leherku.
Sudah jam istirahat dan Sintanola mengajakku makan siang di tepi pantai. Duduk di atas batangan bangkai pohon kelapa yang melintang di pasir, di bawah naungan payung tancap portabel dari kayu dan kain-kain ulos batak warna warni buatan tangan Tawarius, papanya Sintanola, kami makan bekal yang kami bawa dari warung sea food milik Sintanola: setoples penuh cumi goreng tepung, sebotol besar coca cola dingin, setoples besar kentang goreng, dan sebotol sambal abc super pedas. Nyam nyam. Hari yang indah di bawah mentari. Sinarnya yang terik menguapkan segala kegalauan hatiku tadi. Anjing-anjing Sintanola beredar di seputar kami, lincah menyambut lemparan kentang dan cumi goreng. Sintanola sangat cantik. Di mataku, hampir semua perempuan kelihatan cantik, kecuali seseorang di dalam cermin, aku sendiri. Mungkin aku punya masalah psikologis berkaitan dengan hal ini, hahaha. Biarlah. Aku sudah puas dengan tubuhku yang sehat dan tetap kurus walau sebanyak apa pun aku makan, sehingga aku selalu bisa dengan lincah melompat-lompat bersama para anjing di usia nyaris empat puluh ini.
* Ama Osa berarti bapak(nya) Osa. Di Nias, orang yang telah memiliki anak biasanya dipanggil berdasarkan nama anak pertamanya. Ama berarti bapak dan ina berarti ibu, jadi Ina Osa adalah ibu(nya) Osa.
** Di Tana Toraja, perempuan yang belum menikah biasanya diberi tambahan ‘lai’ di bagian depan nama panggilannya. Jadi semestinya setelah menikah, Candle tidak dipanggil lai Candle lagi. Ada hal menarik bahwa di Toraja, orang yang sudah punya anak biasanya juga dipanggil dengan nama anak pertamanya, seperti di Nias. Misalnya: Ambe Candle berarti bapak(nya) Candle, dan indo Candle berarti ibu(nya) Candle.
( B E R S A M B U N G )