SENANDIKA

Aku memang suka makan babi, tapi dagingnya, bukan kepalanya seperti ini. Cincangan kepala anak babi menggunung di piring saji di hadapanku. Dari aroma dan warnanya yang putih kekuningan berminyak, tampaknya masakan ini cuma direbus dengan garam dan bawang putih. Namaku Gandhy, dan hidangan di depanku ini mengingatkanku pada sesuatu dari masa laluku di Tana Toraja. Saat ini aku sedang berada di gereja BNKP, di suatu siang yang panas menyengat, seperti siang-siang lainnya di pulau Nias ini. Teman-temanku yang malang, yang juga harus menyantap hidangan ini untuk menghormati tuan rumah yang mengundang kami, duduk meleleh di sekitarku. Hidung Rudolf tampak makin merah disengat udara Nias, cupingnya bergerak-gerak dalam usahanya membaui aroma kepala anak babi. Sebentar lagi mungkin dia akan mengeluarkan komentar sok ahli tentang masakan kepala anak babi, meniru pak Bondan Winarno idolanya. Kalau pak Bondan Winarno cukup ramping di usianya yang 60-an, Rudolf, lelaki 46 tahun ini memiliki perut yang lumayan kurang enak dilihat. Gendut. Buncit. Mungkin kebanyakan minum bir dan makan penganan enak berlemak.

Di sebelahnya, Leo sibuk membidik kepala anak babi di piring saji dengan kameranya. Ini memang hobinya. Dia akan sangat menyesali kalau kepala anak babi sudah disantap tanpa sempat dia abadikan dulu dengan senjata kamera. Leo seorang kamerad. Kamerad berkamera. Leonard Far Far beberapa tahun lebih muda dariku. Aku sendiri sudah 38, hampir 40 tahun berputar-putar di atas bumi ini tanpa tujuan yang jelas. Aku sudah nongol di bumi ini sepuluh tahun lebih duluan daripada Felix, temanku yang satu lagi, yang berambut keriting agak kasar. Nama lengkapnya, Fransisco Salindeho. Di telingaku, namanya kedengaran sangat gagah, bernuansa Spanyol atau Amerika Latin, kedengarannya cocok sebagai nama bintang sepak bola. Felix turunan orang-orang pelaut dari kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Salindeho adalah nama keluarganya, nama fam, seperti marga bagi orang Batak. Aku rasa ini bukan kebetulan, bahwa kami berempat semuanya mempunyai nama fam atau marga. Rudolf bermarga Rajagukguk. Rudof Rajagukguk, dari namanya sudah ketahuan dia orang batak. Far Far adalah nama fam Leo, yang mengaku keturunan suku Kei dari pulau Kei di Maluku. Aku sendiri, berfam Kadang. Nama lengkapku cukup keren: Gandhy Indiana Kadang. Mamaku pengagum Mahatma Gandhi dan gerakan anti kekerasannya di India.

Kami berempat sudah hampir sebulan ini bermain-main di pulau Nias. Yah, meskipun usiamu 40-an, 30-an, dan akhir 20-an, kalau kamu jomblo easy going seperti kami, ke mana pun pergi bisa terasa seperti bermain. Aku perempuan satu-satunya di antara kami, hal yang sangat menyenangkan, karena bagiku lebih mudah berbicara dengan laki-laki daripada perempuan. Dengan laki-laki aku bahkan tidak perlu sering berbicara. Tapi bisa lebih sering makan-makan.

Clap, clap, clap, bunyi mulut Felix mengecap-ngecap di sebelahku. Ho, rupanya si keriting kurus yang rakus sudah duluan melahap kepala babi. Felix benar-benar aneh kalau sedang makan. Mulutnya ngecap-ngecap sangat ribut dan ia mengunyah dengan mulut mekar terbuka-buka, seakan-akan rahangnya berlebihan energi dan harus disalurkan dengan mengunyah sekencang-kencangnya. Yang paling aneh, tiap kali melihat Felix makan, aku jadi ngiler pingin turut makan apa yang dilahapnya. Seperti sekarang ini. Kepala anak babi rebus tampaknya memang kurang membangkitkan selera makan. Tapi melihat Felix begitu lahap bak anjing belum dikasih makan dua hari, aku jadi berubah persepsi tentang hidangan ini. Lagipula aku teringat sesuatu dari masa laluku.

Sesungguhnya, bentuk dan warna masakan ini membangkitkan memori khusus bagiku. Dulu sekali, waktu masih smp, aku pernah makan nasi dengan lauk daging babi yang hanya direbus dengan bumbu garam. Waktu itu di rumah tidak ada makanan dan tidak ada orang selain aku dan pamanku yang sama-sama tidak bisa memasak. Pamanku, yang kupanggil om Tandi, memotong-motong daging babi mentah yang ada di kulkas, kemudian merebusnya dengan dibumbui garam. Mungkin karena waktu itu aku amat sangat lapar, lebih daripada saat ini, maka babi rebus tanpa bumbu selain garam itu terasa enak sekali dan aku makan sampai kekenyangan.

Daging babi memanglah salah satu daging favoritku. Bagian daging babi yang benar-benar enak adalah sam can, bagian perut, yang terdiri dari tiga lapisan seimbang: daging, paling tebal di bawah, lemak, yang putih transparan agak kenyal di tengah, dan penutup putih kecoklatan yang lebih kenyal di bagian atas, kulitnya. Potongan-potongan sam can ini, untuk dimasak jadi babi kecap atau babi rica ala manado, sempurna. Sedangkan untuk membuat pakpiong babi, masakan tradisional Toraja, tanah kelahiranku, daging babi dipotong besar-besar, lalu … hmm…, sebenarnya aku tidak tahu cara memasak pakpiong babi. Meski sekarang aku sudah lebih mampu memasak dibandingkan ketika smp, tapi pakpiong babi berada jauh di atas kapasitas memasakku. Aku cuma tahu bahwa bumbunya yang paling menonjol adalah daun miyana yang berwarna ungu. Ini bumbu yang unik, dan keunikan lainnya, dimasak dalam batang bambu. Oh, aku benar-benar kehilangan pakpiong babi bertahun-tahun terakhir ini. Masalahnya, adalah, tidak ada warung makanan khas Toraja di Yogyakarta, tempat tinggalku sejak aku tamat sma di Makassar. Kalau warung Manado, Batak, banyak, bahkan makanan Kupang juga ada yang jual, jadi aku tidak kehilangan babi tinoransak, BPK (Babi Panggang Karo), sayur pahit Manado, sop brenebon, RW (Rintek Wuwuk, masakan dari daging anjing khas Minahasa), dan lain-lain. Tapi pakpiong babi, pakpiong ayam, belut raksasa bumbu kluak, pakpiong tedong (kerbau) dan masakan Toraja lainnya, benar-benar sudah jauh di Toraja sana.

Meskipun tubuhku seolah ditakdirkan kurus terus, beratku tidak bisa melampaui 49 kg, aku tukang makan. Selain daging babi, masih banyak makanan favoritku, bisa dibilang hampir semua makanan kecuali jengkol. Makan bukan hanya karena kebutuhan, tapi sebagai hobi. Hobiku yang lain adalah jalan kaki tanpa tujuan, duduk-duduk di bawah pohon rindang, dan membaca buku. Buku apa saja yang menarik bagiku. Aku membaca tanpa tujuan. Sekadar karena suka yang kubaca, sekadar menghibur diri melewatkan waktu, sekadar memuaskan rasa ingin tahu. Aku membaca seperti orang merokok. Untuk mendapatkan kenikmatan. Membaca itu, nikmat. Misalnya bila kubaca buku tulisan Dalai Lama, rasanya seperti menikmati Dalai Lama berbicara lembut langsung di telingaku, sambil aku santai-santai baring-baring. Saat aku bosan dan ngantuk, Dalai Lama akan berhenti bicara, tak menggangguku. Buka buku, tutup buku, sesukaku, nikmat sekali. Buku adalah teman. Dengan buku di pangkuan, aku ada alasan untuk tidak membuka pembicaraan basa-basi dengan orang di sebelahku. Membaca adalah hiburan paling santai dan menyenangkan dalam hidupku yang nikmat ini. Yah, bukannya aku bilang hidupku isinya cuma nikmat-nikmat saja, tapi, aku menikmati hidupku. Lha, kalau hidup tidak dinikmati, buat apa hidup?

(bersambung, besok aku muat lagi lanjutan ceritaku di blog ini ya, trims udah baca …)