SENANDIKA (bagian 2)

Aku, Leo, Rudolf dan Felix datang ke pulau Nias ini sekitar sebulan yang lalu untuk membawa buku-buku dan membantu Sintanola membuka perpustakaan di rumahnya yang besar dan berhalaman luas tanpa pagar di tepi pantai Fodo, Gunungsitoli. Kota kecil di tepi pantai dengan cuaca senantiasa panas dan menawarkan keceriaan hidup di bawah matahari tropis ini, adalah ibukota kabupaten Nias. Pulau Nias, yang secara administrasi termasuk bagian propinsi Sumatera Utara, terbagi atas beberapa kabupaten. Pertama kali aku mengenal pasir agak bulat berwarna coklat muda kemerahan di pantai Fodo, terjadi beberapa tahun sebelum ini, tahun 2005, ketika aku ke sini untuk menjadi relawan di program trauma healing sebuah lembaga sosial, setelah terjadi gempa bumi.

Di tahun 2005 itulah aku berkenalan dengan Sintanola Marunduri, yang punya bapak bernama lucu, Tawarius Marunduri. Tawarius, Tawa Serius. Bapaknya tidak pernah marah kalau aku sengaja memplesetkan namanya menjadi Tawa Serius, dan Sintanola mewarisi kerendahan hati serta selera humor yang sama. Gempa bumi telah menghancurkan banyak bangunan di kota Gunungsitoli, tapi rumah besar mereka yang dibangun dari kayu hanya mengalami sedikit kerusakan. Tawa Serius menyediakan lahan halaman rumahnya yang besar untuk dipakai oleh lembaga tempat aku bekerja sebagai trauma healing center. Sebuah bangunan tak berdinding dari kayu dibangun untuk tempat kegiatan-kegiatan pendampingan trauma healing bagi orang dewasa dan anak-anak.

Sampai sekarang bangunan tersebut masih ada meskipun program trauma healing sudah selesai. Rumah kayu yang silir karena tak berdinding tapi diapit banyak pohon besar di halaman, menjadi tempat berbagai acara warga sekitar rumah Tawa Serius. Rumahnya yang tak berpagar sudah menunjukkan kesediaannya berbagi kawasan dengan yang membutuhkan. Sintanola, yang di tahun 2005 baru tamat SMA dan sekarang mencoba berbisnis makanan laut di sekitar pantai Fodo juga, sejak lama merindukan sebuah perpustakaan diadakan di rumah kayu itu. Setelah mulai lancar berjualan kepiting saos padang, cumi goreng tepung, udang goreng mentega (di warung Sintanola, sebenarnya dimasak dengan minyak goreng dan margarin, bukan mentega) dan berbagai makanan hasil laut lainnya, kini ia merasa cukup punya modal mewujudkan impiannya. Aku dan Leo yang di tahun 2005 bersama-sama dengan Sintanola menjadi relawan trauma healing, ikut diajak Sintanola untuk bekerjasama mewujudkan perpustakaan kecilnya. Kecil-kecil dahulu lah, katanya. Lama-lama kan, kita lihat sendiri perkembangannya, bisa tambah besar, atau tetap kecil juga tidak apa-apa.

Tawa Serius yang sangat menyayangi anak tunggalnya tentu saja ikut membantu nambah-nambah biaya. Tapi sebenarnya dana yang paling banyak datang dari mantan kekasih Sintanola, yang juga dikenalnya ketika menjadi relawan trauma healing. Jonathan Abraham Parker, lelaki Amerika yang di tahun 2005 datang ke Banda Aceh dan Nias sebagai relawan kemanusiaan setelah tsunami dan gempa bumi. Dua ribu dolar adalah jumlah yang pas-pasan untuk hidup sederhana selama sebulan di Amerika, kata Jonathan. Tapi bila dirupiahkan, jumlah sekitar delapan belas juta rupiah menjadi sangat berarti untuk membantu mantan kekasihnya membuat perpustakaan impiannya. Bagaimana mantan kekasih ini bisa begitu rela menyerahkan dua ribu dolarnya untuk mantan kekasihnya, akan kukisahkan padamu nanti. Sementara itu, kita kembali dulu ke hari ketika aku makan kepala anak babi di Sirombu, karena aku ingin menceritakan padamu tentang bintang di langit Sirombu, daerah pesisir di bagian barat pulau Nias.

Setelah menyantap kepala anak babi yang ternyata enak juga dimakan dengan cocolan sambal kecap asin khas Nias (sambal ini mirip sambal kecap manis yang biasa dibuat di Jawa, tapi kecap manisnya diganti dengan kecap asin. Saat ini di Nias sudah banyak dijual kecap manis, tapi sewaktu aku menjadi relawan di Nias tahun 2005, aku agak terkejut mendapati betapa susahnya mencari kecap manis di toko-toko dan warung-warung di Nias), dalam perjalanan pulang di mobil, harus kuakui, seperti biasa, kami berempat ribut. Tidak bisa dibilang berantem, tapi masing-masing ngotot ingin keinginannya yang dijalankan. Jadi kami berhenti dulu di sebuah gubuk kecil di tepi jalan kecil yang mendaki dan berliku, untuk membeli durian sambil berdiskusi lagi untuk mengambil keputusan apakah akan pulang ke Gunungsitoli atau menginap di Sirombu. Rudolf dan Felix ingin cepat-cepat pulang ke Gunungsitoli, alasan mereka, ada janji dengan Sintanola untuk makan malam sambil mendiskusikan isi acara Klub Remaja Perpustakaan Fodo yang akan diadakan hari selasa sore. Ini hari minggu, jadi masih dua hari. Aku dan Leo, yang sama-sama ingin sekali melihat lagi bintang di langit Sirombu, menganggap diskusi dengan Sintanola bisa diadakan hari senin, sehingga malam ini lebih baik menginap di Sirombu, bisa berenang sore-sore lalu menikmati malam berbintang yang tiada taranya.

Ini to, penting sekali acaranya, ko tahu to, Gandhy to, remaja to, yang mengaktifkan perpustakaan kalau kita so pulang ke Jogja,” kata Felix, yang meskipun sudah bertahun-tahun tinggal di Jogja, tapi ketika berbicara dengan agak emosi, dia akan kehilangan kontrol dan keluarlah logat aslinya yang aneh yang penuh dengan penekanan ‘to’. Mungkin ini pengaruh masa kecilnya di Sangir Talaud dan masa remajanya di Makassar, yang menyebabkan logat asli Felix dalam berbahasa Indonesia menjadi lucu. Tapi jangan salah, Felix adalah pembicara yang andal di depan umum, dan ketika dia memimpin pelatihan atau semacamnya, dia akan berbicara dengan bahasa Indonesia yang sangat baik.

Tentu saja aku tertawa, bukan karena isi kalimat Felix lucu, tapi cara berbicaranya membuat aku, dan ternyata bukan hanya aku, Rudolf dan Leo pun jadi tertawa geli.

Sudah to, Felix to,” Rudolf tak bisa menahan tawanya sambil berbicara menggoda Felix, sampai-sampai durian kuning meleset ke atas bibirnya di bawah hidung.

Kita mengalah sajalah, Lix, kau lihat nih, durian-durian enak begini kita beli saja banyak-banyak mumpung harganya murah, lalu makanlah kita sambil berenang di pantai Sirombu”, lanjut Rudolf Rajagukguk, yang setelah sebulan di Nias, logat bataknya kumat lagi.

Begitulah, karena sekarang sudah tiga lawan satu, maka Felix pun mengalah, dan kami menginap di Sirombu malam itu. Setelah memborong durian Nias yang kecil-kecil tapi isinya legit menyengat nikmat di lidah, pantai Sirombu menjadi tujuan kami untuk melewatkan sisa hari itu. Dengan lima puluh ribu rupiah, di Jogja sudah terasa murah bila bisa membeli tiga buah durian, tapi di pulau Nias nan manis ini, kami memborong dua puluh buah durian dengan selembar limapuluhribuan. Hanya dua ribu lima ratus sebuah. Waktu tahun 2005 aku ke sini, harganya ketika musim durian bahkan menurun hingga seribu rupiah per buah. Dengan sepuluh ribu kamu bisa dapat sepuluh durian. Makanya di Nias ini kita bisa pesta durian sampai benar-benar mabuk. Mungkin karena di sini ketika musim durian tiba, benar-benar tersedia sangat melimpah buahnya, orang-orang Nias menikmati durian dengan bebas, tidak seperti di Jawa yang dinilai lebih tinggi karena harganya mahal. Di Nias, banyak orang yang suka makan durian mentah. Bukan hanya durian matang manis agak beralkohol yang disukai, tapi juga yang masih mentah, daging durian keras yang manis agak tawar non alkohol. Aku bahkan kenal seorang teman di Gunungsitoli, yang ketika musim durian, kalau marah akan memotong-motong buah-buah durian sampai hancur. Hanya dipotong-potong sambil ngomel-ngomel, tidak dimakan.

Dengan dua puluh durian untuk empat orang, dan perut yang sudah kenyang kepala babi dan durian yang dimakan di gubuk penjualnya, kami bertolak ke barat, menuju pantai Sirombu yang pernah terkena ombak tsunami Aceh tahun 2004. Sepanjang jalan dalam mobil beraroma durian diiringi lagu-lagu berbahasa Nias berirama semi dangdut, hati kami terasa riang ringan, namun perut kami berat kekenyangan. Setibanya di pantai setiap orang berkegiatan sendiri-sendiri sesuka hati, Felix yang keturunan nenek moyangnya yang orang pelaut Sangihe segera berenang lincah bak lumba-lumba kurus. Aku bermain pasir pantai Sirombu yang putih, lembut, jauh lebih halus dari pasir di pantai Fodo. Setelah puas bermain pasir, aku berendam di laut, lalu bermain pasir lagi, lalu berendam lagi, sambil membuai mata dengan pemandangan pantai dan langit biru yang luas indahnya, indah luasnya. Sambil menikmati pantai, Leo sang pemburu tentu saja berburu, baik pemandangan makro maupun mikro untuk difotonya, juga berbagai kulit kerang, potongan karang, bintang laut, kepiting kecil, dan sebagainya untuk diperhatikan dengan saksama. Dari jauh kulihat Rudolf sedang mengobrol dengan nelayan yang baru mendarat membawa ikan-ikan besar kecil. Segera saja kami semua tertarik dan ikut mengerubungi perahu nelayan yang berisi aneka ikan laut bermacam ragam bentuk dan warna. “Ini ikan kakaktua! Kalau di sangir kita bilang ini ikan kakaktua,” kata Felix sambil mengangkat seekor ikan karang sepanjang sekitar tiga puluh senti, gendut, bermoncong tebal dengan warna sisik memukau: kadang kebiruan kadang kehijauan, tergantung arah cahaya matahari yang terpantul di kulitnya. Segera Leo mengabadikan Felix yang mengangkat ikan kakaktuanya dengan senyum penuh kemenangan bak nelayan Sangir dari utara Minahasa.

Pantai Sirombu menghadap barat sehingga sang surya yang meredup oranye dan menurun di ufuk bisa kami nikmati sambil duduk tertegun di bibir pantai. Bahkan Felix dan Rudolf yang ceriwis pun tak berkata-kata, hanya terpana memandang syahdunya sang dewa mahatari mengundurkan diri dari tahta siangnya. Wajah mentari bulat oranye bersinar lembut di langit yang bernuansa ungu merah jambon keemasan berbatas laut yang berangsur menggelap berwarna biru kehitaman. Seperti biasa sang kamerad tak kan melewatkan wajah sang dewi mentari dari moncong kameranya.

Setelah sang raja siang turun tahta, terbitlah di langit para peri malam. Saat ini bulan tua, jadi kami bisa menyaksikan banyak sekali bintang bermunculan. Sedang tak ada cahaya mentari yang dipantulkan bulan, dan kami berada di pantai tanpa lampu. Langit malam seolah membuka rahasianya di atas kami. Langit indah yang dicemburui oleh lampu-lampu kota yang tak mampu menyaingi keindahannya secuil pun. Manusia yang membuat kota telah memasang jutaan lampu di malam hari, memberi begitu besar polusi cahaya lampu listrik sehingga pemandangan bintang gemintang yang sangat indah di malam hari telah tersembunhyi dari pandangan manusia kota.

Langit malam di Sirombu adalah kenikmatan tak terkira bagi mata. Kami menikmatinya sambil makan durian Nias yang kecil-kecil namun legit di pantai sepi ini. Rasanya benar-benar seperti sedang berada di surga. Lihatlah bintang-bintang itu. Langit penuh bintang begini sekarang hanya bisa dinikmati di daerah-daerah terpencil kurang aliran listrik seperti ini. Jadilah, dunia dilihat dari sini, gelap. Dan bila dunia gelap, langit akan gemerlap.

Tak ada polusi cahaya yang menghalangi mata menerima pemandangan terindah: kerlap kerlip milyaran bintang di langit malam. Sesekali terlihat komet melintas. Ketika bintang berekor melintas, sampaikankanlah rahasia harapan hatimu padanya. Cincin Bimasakti atau kabut susu, yang menyebabkan galaksi Bimasakti disebut juga The Milky Way, bahkan bisa kelihatan. Kamilah para manusia paling bahagia malam ini, bisa menikmati malam sunyi senyap bintang-bintang gemerlap yang nyaris tak pernah muncul di kota. Ditambah pula bisa menikmati durian sebanyak-banyaknya sepuas-puasnya.

Sambil berbaring menatap langit kunikmati durian Nias yang sangat enak, dan rasanya sangat unik. Durian yang sedang kumakan ini lebih nikmat dari biasanya, terasa ada tekstur seperti butiran gula halus di luarnya. Sangat tebal. Hm, enak sekali, kujilat-jilati gula halus yang menutupi daging durian yang lembut manis, sambil menghayalkan perjalanan cahaya dari bintang. Sesungguhnya menatap bintang sama seperti menatap langsung ke masa lalu. Bintang-bintang teramat sangat jauh dari bumi, sehingga cahaya butuh waktu bertahun-tahun, bahkan mungkin ada yang sampai milyaran tahun baru sampai ke bumi, ke mata kita. Bintang yang paling dekat (setelah matahari) dari bumi, konon bernama Proxima Centauri, berjarak sekitar empat tahun cahaya. Satu tahun cahaya sendiri adalah jarak yang sangaaat jauuuuh, sekitar 9,46 trilyun kilometer. Menurutku, karena cahaya dari bintang butuh waktu bertahun-tahun untuk sampai ke mata kita di bumi, maka tampang bintang yang kita lihat sekarang berarti tampang bintang itu bertahun-tahun, mungkin ribuan, jutaan atau bahkan milyaran tahun lalu. Sama saja kan, dengan menatap langsung ke masa lalu? Betapa romatisnya alam semesta ini! Wah, aku harus tanya teman-temanku apakah mereka menyadari hal ini.

Eh, tahu nggak,” tanyaku sambil mengalihkan pandangan ke teman-temanku, dan aku benar-benar kaget. Betapa tidak, bukannya menatap bintang-bintang dari masa lalu, mereka malah ternyata sedang bulat-bulat menatapku! Leo bahkan sedang mengarahkan moncong kameranya ke moncongku yang sedang menjilati durian bertepung gula!

To to to to,” kata Felix terbata-bata. Oh, rupanya dia sedang emosional lagi. “Gandhy, ko sadar to, ko lagi makan durian penuh pasir. Tadi ko guling-guling itu durian di pasir, terus ko jilat-jilat dan makan itu pasir-pasir yang nempel di durianmu. Ko sadar ji?” karena sama-sama pernah sekolah di Makassar, logat Makassarnya sering kumat kalau bicara padaku.

Sst, diam dulu Lix, cahayanya masih kurang,” bisik Leo dari balik kamera. Akhirnya Rudolf tak tahan lagi dan terbahak-bahak mentertawakan aku. Aku malu sekali. Rupanya tak sadar aku telah makan durian berbalut pasir, saking asyiknya menatap bintang di langit Sirombu.

Yah, kalau kita sudah malu, lebih baik sekalian saja mempermalukan diri sendiri, supaya tidak ketahuan kalau kita benar-benar sedang malu. Maka dengan muka merah aku berpose melahap durian berpasir untuk sang kamerad yang dengan telaten mengatur cahaya di kameranya.

(bersambung dulu ya, besok lagi, semoga kamu tak bosan dengan ceritaku… terimakasih, teman!)