senandika (7)

Pada perjalanannya yang termutakhir sebulan sebelumnya, gelombang badai besar menenggelamkan kapal feri yang ditumpanginya menyeberang dari Gunungsitoli ke Sibolga. Ratusan penumpang pada kapal feri yang kelebihan muatan itu jadi korban, tenggelam, meninggal, hilang. Raemundo salah satu dari yang selamat. Sintanola bertemu dengannya lewat program pendampingan trauma di rumah sakit tempat Raemundo dirawat setelah kecelakaan kapal feri tersebut.

 

Ada kisah aneh yang diceritakan Raemundo ke Sintanola. Raemundo mengatakan bahwa sewaktu dia terapung-apung di laut dan merasa sudah hampir tenggelam dan akan segera meninggalkan dunia ini, para malaikat berkulit sangat licin mengilat telah menolongnya. Malaikat-malaikat itu membawanya sambil berenang ke dekat kapal nelayan yang kemudian mengangkut Raemundo ke darat. Tapi dalam perjalanan ke kapal nelayan, Raemundo perlahan menyadari bahwa komplotan yang bergotong royong berenang sambil membawanya itu bukanlah malaikat, melainkan sekelompok lumba-lumba hitam legam mengilat. Yang paling aneh, salah satu dari lumba-lumba itu, yang tampaknya berukuran sedikit lebih kecil, mungkin masih anak atau remaja, di moncongnya tersangkut kulit durian yang tidak bisa lepas. Lumba-lumba lain silih berganti berusaha mendorong kulit durian itu dengan moncong mereka, tapi tetap tidak bisa lepas, malah lumba-lumba lain jadi ikutan luka dan berdarah moncongnya. Suatu saat lumba-lumba yang ada kulit durian di moncongnya itu berada sangat rapat di dekat Raemundo, dan dengan tangannya yang lemas Raemundo berusaha melepaskan kulit durian dari moncong si lumba-lumba malang. Puji Tuhan, akhirnya berhasil juga. Para lumba-lumba begitu senang dan berterimakasih, mereka bergantian menciumi pipi Raemundo. Kata Raemundo, diciumi serombongan lumba-lumba liar di laut lepas rasanya benar-benar seperti surga yang sangat membahagiakan, sehingga energi tubuhnya bangkit kembali, dia jadi tidak selemas sebelumnya dan makin mampu bertahan hidup.

 

Ketika mendengar kisah ini, aku juga jadi sangat takjub dan heran hampir tak percaya. Takjub karena cerita ini memang menakjubkan. Heran dan hampir tak mau percaya karena, kisah lumba-lumba yang moncongnya tertusuk kulit durian dan tak bisa lepas hingga berdarah-darah, persis seperti kisah khayalan yang kutulis untuk tugas menulis dalam pelatihan menulis yang difasilitasi Rudolf di klub perpustakaan kami. Sintanola juga segera teringat pada tulisanku itu ketika pertama kali Raemundo menceritakan pengalamannya padanya. Oleh karena itulah Sintanola sangat ingin aku dan Raemundo bertemu langsung. Tapi aku masih curiga, tak mau percaya begitu saja. Jangan-jangan Raemundo entah bagaimana pernah membaca kisah khayalan yang aku tulis (tulisan itu kan ditempel di majalah dinding perpustakaan kami), dan mengarang cerita yang sama demi menarik perhatian relawan trauma healing nan cantik, Sintanola. Namun Sintanola sendiri benar-benar yakin bahwa itu pengalaman nyata Raemundo, bukan karangan, dan sebuah kebetulan yang aneh bahwa Raemundo mengalami pengalaman yang sama dengan isi khayalanku yang kutuangkan dalam tulisanku.

 

(bersambung lagi)

Tinggalkan komentar